Header Ads

Setelah Siri’, Perayaan Rupa Tau




Datangilah dirimu, dengan cermin siri’, dengannya engkau  melihat dirimu disudut paling mengerikan, terhadap dirimu pula dunia sosial, sebab engkau mungkin telah berlari jauh tanpa busana malu itu . ( Hajar Alfarisy )

Kearifan manusia menemui titik hilangnya, ketika siri’ tidak lagi dianggap, digandrungi, serta dijaga sebagai nafas kultural fitrawi yang memantik nafas kebajikan juga kebijaksanaan. Siri’ merupa cermin kearifan, tempat menata wajah dan gerak manusia dalam mencipta peradaban.

Sebagai suatu cermin kearifan. Siri telah berdebu, jatuh pecah berkeping menjadi retakan serta serpihan serpihan tanpa arti. Kini, manusia yang berjalan dalam alam dirinya serta dunia social, mengalami sayatan-sayatan luka keadaban. Manusia yang didaku sebagai entitas yang sempurna dari segala ciptaan, mulai kehilangan siri’, sebab energi pengendali gerak yang paling berarti. Terhempas jauh, lalu manusia terjatuh di pusaran kehidupan yang dipenuhi ketandusan makna kedirian.

Pohon budi telah ditebang. Kearifan tak lagi mengalir, sebab air kebijaksaanaan tidak terserap kedalam tanah asal kemanusiaan. Mewabah sikap sekedar simbolik, belantara gerak tanpa makna tumbuh seperti alang alang mengakar kuat, semarak namun abai subtansi. Kehidupan yang mengerikan, menakutkan sekaligus menyedihkan. Sayup-sayup kita mendengar, pesan dari sudut jauh yang asing, Ya ri ta tau siri’ tari.

Disudut yang jauh itu. Di bumi epos Ilagaligo, siri’ didaku sebagai kearifan. Puncak pembentuk manusia yang diwakili oleh wejangan yari ta’ tau siri tari. Siri’ merupa hukum internal dalam jiwa manusia. Siri’ menjadi pengawas, sekaligus pengendali potensi manusia sula’pa a’pa  Keberanian, kejujuran, kecerdasan dan keteguhan. Siri’ hidup dalam segala sisi potensi manusia. Jika dibentuk gambar segi empat, titik koordinatnya adalah siri. Sebab itu ia adalah titik simpul pa’pangaja’ tau (nasihat).

Senja kala siri’. Matuladda lalu mengurai siri’, Siri’ merupa nafas ilahiyah, sebentuk nafas kelangitan, kala manusia abai, manusia telah berjalan bukan sebagai tau (manusia), sebab itu mahfum kita mendengar tutur lama orang tua yake tae’ siri’mu indanko siri’. Itulah kearifan , etos kultural dalam batin. Begitu pentingnya lalu manusia diperintahkan mengerjakan sesuatu yang tak mungkin itu, meminjam sifat diluar diri.

Perayaan rupa tau berlangsung, Bersenggama dengan benda benda. Benda benda menjadi jiwa. Jiwa dibendakan lalu lahirlah bayi bayi biadab bernama korupsi, tindakan amoral yang dirayakan tanpa malu. Karena itu, Jangan heran, ketika sipandai menjadi penipu ulung, seorang pemberani menjadi cukong kuasa. Kejujuran tidak untuk dilakukan, keteguhan tumbuh pada penyakit jiwa dan sosial. Korupsi mendera lalu dipuji oleh seorang pemimpin, begitupula bawahannya tak perlu mendapat sanksi, tindakan amoral sebut bermoral.

Senja kala itu, kita dilarang menjadi penganjur moral. Kita berada ditempat dimana ada normalisasi sesuatu yang abnormal. Sisi dimana lenyapnya moral dan kemanusiaan yang tak lagi diperdulikan. Budaya siri” menjauh tanpa malu malu. Inilah, Perayaan kesenangan, perayaan permukaan sebut para pewacana postmo. Sebut manusia luwu mereka itu hanyalah jelma rupa tau.

Di Bumi Sawerigading, manusia telah dimisalkan dalam dua bentuk. Tau sebagai manusia seutuhnya, sementara rupa tau sebagai manusia tanpa diri yang sesungguhnya. Filosofi sa’da mappabti ada, ada mappabti gau’ - suara melahirkan kata, kata melahirkan perbuatan, manusia dianggap ada jika satunya kata dengan perbuatan, namun kebijaksaanan ini hanya bisa dijembatani dengan siri’ sebagai etos kultur yang fitrawi.

Sebab itu, Tau adalah puncak laku jalan yang paling manusiawi. Ia bukan perjalanan kebatinan semata, ia pula adalah etos kultural secara kolektif, memilki peran membentuk peradaban manusia, peradaban tanpa meninggalkan hakikat manusia. Kearifan Siri’ menjadi titik episentrum kehidupan, ketika ia menghilang maka manusia tidak akan bisa hidup sebagai tau.

Mereka yang terperangkap dalam perayaan rupa tau akan terperangakap dalam diri yang palsu, sebut agama barada dibawah nafs pertengahan, ia disebut nafs lawwamah – dunia kebendaan. Perayaan yang menghancurkan keunggulan manusia dari bintang dan benda benda.

Siri' adalah jalan pintas merefleksikan diri yang fitrawi, jalan pulang seketika, peringatan tanpa jarak saat abai. Namun kehilangannya kita akan kehilangan arah jalan pulang. Apapun itu, menurut tutur para penutur bijak, siri’ dapat hidup mengabadi dari dalam dimensi paccing ati (penyucian Jiwa). Darinya, kita mengenal makna secara mendalam bukan sekedar rupa permukaan.

No comments

Powered by Blogger.