Heli dan Tanah yang Dikontrak
Baling baling - pesawat berputar kencang, rerumputan seakan dipaksa meninggalkan tempat tumbuhnya. Beberapa lama kemudian, baling baling semakin melambat dan rerumputan berdiri seperti sediakala.
Tahun 1989, satu helikopter mendarat di bumi To Bara, Seko. Seorang pengusaha bernama Haji Musa turun dari heli. Waktu itu, pertama kalinya datang menginjakkan sepatunya di tanah Ina seko . Matanya melirik takjub, bentangan perbukitan menghijau menghentikan gerakan matanya. Sambil menikmati udara sejuk ia menyeletuk “disini akan dibangun Bandung ke dua”.
Sejak tahun 1996, dua tahun akhir rezim Soeharto. Hampir semua wilayah Hono’ diambil alih oleh perkebunan skala besar. Saat itu, proyek revousi hijau Soeharto digemakan. Perkebunan skala kecil dianggap tak mampu memberi sumbangsi besar kepada cita cita negara.
Suara heli yang bising juga asing di tahun 1989, semenjak itu menjadi penanda PT Seko Fajar memulai rencana besarnya, menguasai sebagian besar wilayah hidup masyarakat. Perusahaan perkebunan peruntukan tanaman teh. Ditanah itu, tempat teh dan kopi sekedar rencana. Penggembala membuka kandangnya dipagi hari, puluhan bahkan ratusan balulang (kerbau) berlarian, berjalan beriringan mengunyah rumput hijau. Petani dimusim hujan menanam padi sambil bercerita.
Ini bukan masa compani, penjajah bule yang menjadikan rakyat pekerja kasar Perampas rempah rempah untuk mencari komoditi akibat revolusi industrI di Francis. Kita telah melewati masa suram itu. Kita tak pernah berpikir, semenjak merdeka tanah rakyat begitu mudah dimilIki oleh koorporasi. Tapi, sejarah memang selalu berulang. Bagi sesiapa yang tak mau menengok ulang sejarahnya. Penjajahan yang kita kutuk kita pula yang melakoninya. Ia tetap berulang dengan masa yang berbeda, masa kini yang berwajah masa lalu. Pembangunan berwajah kolonial
Sejak 1989 – 2012. Teh dan Kopi tak pernah tumbuh diatas tanah yang dikontrak itu. Sebab itu, Badan Pertahanan Nasional mengeluarkan surat keterangan tanah terlantar. Namun, perilaku penegak hukum selalu memiliki kelemahan kelemahan yang pasti. Keputusan tanah terlantar dibatalkan di pengadilan dengan satu alasan, PT Seko Fajar tidak dilibatkan.
Selalu ada celah hukum yang mengalahkan rakyat, mengaburkan keseluruhan kenyataan, menghilangkan keseluruhan kebutuhan rakyat. Karena itulah surat keterangan tanah terlantar dicabut. Yang diadili bukan apakah memang tanah terlantar atau tidak tetapi soal ada satu pihak yang tidak dilibatkan. Dengan itulah tanah dipastikan tidak terlantar.
Kita yang awam, bertanya pada para pandai hukum. Sejak kapan hukum mengabdi pada koorporasi, kepada terlewatkannya satu proses dalam satu pasal bukan pada kenyataan, bukan pada manusia. Toh….. yang mesti terjadi adalah melibatkan kembali PT Seko Fajar, bersama pemerintah dan masyarakat untuk memastikan apa terlantar atau tidak. Sejak kapan itu terjadi ya Sejak zaman colonial mungkin hingga kini !!!
Tanah Seko kecil tapi indah, lirik lagu yang kadang dipolitisisasi. Agustus 2012, tanah Ina seko yang indah itu kembali dirampas dengan ketukan palu hakim. Ina tempat rakyat menyusu . Sejak itu, rakyat diterlantarkan didepan hukum. Kita mungkin akan menjumpai keadaan yang sulit dimengerti, balulang tiba tiba berlarian,tanpa beriringan karena kaget dan ketakutan. Kaki kuat berhenti mengolah lahan. Suatu saat nanti, mungkin kita tidak lagi melihat balulang bergerombol dilepas dari kandangnya. Juga kita tidak akan melihat bagaimana masyarakat menyemai benih. Dan, kapan rasa tak tentram seperti zaman kolonial akan berakhir ditanah itu !!!
29 Februari 2016. Dua orang PT Seko Fajar datang. Lalu masyarakat menyuruh mereka untuk kembali. Bagi masyarakat, wilyah HGU adalah tempat mereka sejak dahulu, ia juga temapat menumbuhkan harapan .
Kita tak pernah tau, tanah kecil yang indah itu, akankah dibangun dengan mesin penghancur yang mennghentikan kaki kaki balulang, melumpuhkan kaki para petani juga menghentikan aliran sungai betue dan Uro, ataukah ia dibangun dari keindahan tanah ina seko sendiri
Ah.. kita memang belum pernah merdeka, sebab itu pantas jika selalu ada kata perjuangan di tempat tempat yang jauh dari keberpihakan serta kepedulian. Sebab ditempat itu, rahim penguasa pula politisi selalu mengandung bayi “ yatim piatu sosial “ yang dilahirkan setiap saat.
No comments