Header Ads

Kimya dan Kesunyian'

Sore yang tak biasa, Hujan jatuh diatas dedaunan,  angin menerpa - nerpa, lalu bebulirnya berselancar, menjatuh diri pada tanah yang telah basah, kemudian bergemercik.  Entah karena alasan apa, mataku menjejali lembar demi lembar tulisan Muriel Maufroy Kimya Sang Putri  Rumi. Nofel sufistik yang menceritakan sosok perempuan bernama Kimnya yang hidup bersama Maulana Rumi dan Syams, Kimya adalah kesunyian  abadi yang hidup disamping Rumi dan Syams yang jarang orang mengetahuinya.


Kimya anak perempuan Edvokia dan Faroukh, pada mulanya hidup disuatu desa di lembah pegunungan Taurus jauh dari kota Konya, Turki tempat maulana Rumi. Maulana lalu menjadikannya sebagai anak angkat. Hingga akhirnya ia dinikahkan dengan Syams sahabat ruhani Rumi.

Tahun 1231 kala musim semi tiba, ketika itu Edvokia mengandung Kimya. Seluruh kampung memutih terkubur salju. Edvokia dan Faroukh menghangatkan diri di perapian. Gemeretak es terinjak, lalu terdengar bunyi ketukan pintu. Seorang pria datang bertamu, ia hendak bersembunyi dari dingin. Lalu, ia diperkenankan Faroukh untuk menginap. Namaku Masoud ucap pria itu. Aneh, sejenak ia menatap Edvokia yang sementara mengandung. Lalu berkata; “Bayi ini akan tumbuh menjadi perempuan, namanya Kimya, masa depan gemilang akan menantinya”. Esoknya, Ketika tamu itu beranjak pergi, ia kembali mengingatkan Edvokia ‘ingat bayi beri nama Kimya’.

Semenjak itu, Kimya telah ditakdirkan hidup dalam hal-hal yang sulit dipahami, cinta yang  misterius. Tahun 1239, diusia tujuh tahun, Kimya seringkali mengalami hal hal yang aneh. Eksatase’ Edvokia ibunya menyebutnya demikian.  Suatu momen ketika dirinya benar-benar kehilangan orentasi hidup. Ia kadang mendengar bunyi dari kejauhan, kemudian tenggelam dalam dirinya’ sendiri. Karena itulah Kimya kecil dianggap aneh, teman-temannya kadang jengkel melihatnya.

Kimya, lalu bertemu  Ahmed.  Pemuda yang meninggalkan kota Konya saat orang dari luar malah berdatangan ke Konya untuk belajar pada Rumi. “Apa yang membuat anda meninggalkan Konya” tanya Kimya.  “Aku salah satu diantara banyak  pemuda yang memilki hasrat besar menemui maulana Rumi, guru berjubah biru bersorban coklat, dengan tatapan mata tajam membiru. Sekali saja aku bertemu, kemudian aku berlari meninggalkan masa laluku, bergegas pergi ke desa, menyaksikan pepohonan dan perilaku orang desa yang jauh berbeda dari Kota Konya.  Jiwaku mamaksaku berlari meninggalkan keramaiaan Konya, ketika aku mendengar maulana berkata  “Dialah sang Pencipta dan pemberi rezki kepadanya kita semua berpulang”. Kimya yang mendengar terdiam, hening.

Ahmed seolah ‘jembatan’ bagi Kimya. Menghubungkannya dengan hal – hal yang sulit dimengerti. Suatu saat Ahmed menggores diatas debu. “Apa yang kau tulis” tanya Kimya. “Doost, doost” ucap Ahmed. Matanya memejam pelan, debu yang beterbangan hilang beriringan dengan suaranya yang melembut. Doost adalah kekasih, yang kucintai yang kurindukan. Kimya kecil terus mengingat kata kata misteri itu.

Kimya akhirnya bertemu dengan maulana Rumi, ketika Faroukh ayahnya mengantarnya ke Konya. Pertemuan yang telah ditakdirkan. Kimya tidak merasa kaget karena memang maulana Rumi telah hadir dalam kesunyian yang hening dalam diri Kimya. Dirumah maulana,Kimya sering membaca puisi Attar, sufi agung yang pernah bertemu dengan maulana. Bagi Rumi, kimya adalah kunang kunang yang begitu terpukau dengan nyala api yang berkobaran indah  hingga kunang kunang menjadi abu dilahap oleh api. Dirumah Rumi itupula kobaran api itu semakin menyala dan membakar Kimya.

Kimya tidak pernah duduk bersila mendengar ajaran Rumi, karena itu Kimya sekali waktu bertemu dan bertanya “Kapan aku bisa mulai belajar” pertanyaan membuat kulit wajah Rumi seperti teratrik, dahinya mengkerut, sembari ia tersenyum” Kamu sekarang sedang belajar Kimya,  banyak jalan meraup pengetahuan, ada yang tak kasat mata meski kau tak melihatnya bukan berarti kau tak melewatinya, pesan maulana pada Kimya.

Datangnya Syams seorang pengelana dari dari Tabriz,  mengakibatkan murid murid maulana Rumi marah, entah apa yang membuat Rumi seperti anak anak ketika bersama Syams. Maulana dan Syams memilih berkhalwat.  Tapi bagi kimya, pertemuan Rumi dan Syams menjadi waktu yang berguna melatih kepekaan dalam keheningan.

Pada awalnya Kerra khawatir dengan keadaan maulana Rumi, suaminya. Kimya mengantar makanan diluar pintu kamar, tempat Rumi dan Syams bersama, terpekur dalam suara musik ney. Kimya merasa dibalik pintu yang tertutup itu, ada cahaya terang. Malam malam sunyi dilewatinya dengan menunggu dibalik pintu, kesunyian membentuk keheningan hingga ia semakin peka, keadaan seperti itu menjadi makanan batinnya. Kimya seperti serpihan besi, Rumi dan syams adalah magnetnya.

Ketika murid murid maulana Rumi, mempegunjingkan Syams dan Rumi, Syams akhirnya pergi. Bebulir air mata Rumi menuruni wajahnya yang agung. Rumi seperti anak anak yang kehilangan sahabat dalam perjalannya. Namun pada Akhirnya Syams kembali. Kimnya  telah tumbuh besar, maulana rumi menikahkannya dengan syams.

Syams seperti angin yang bergerak bebas, mengobarkan api. membakar setiap yang dilewati. Dirumah Kimya dan Syams ada kesenyapan yang syahdu, cahaya berpendar dalam ruangan suaminya.  Syams berada disini untukmu, hari ini dia menyingkapkan tabirmu, perjalanan menuju asal telah dimulai. Seperti itulah mimpi kimya.

Meskipun sudah menikah, tidak seperti suami istri pada umumnya. Kimya kadangkala kesunyian, karena tak jarang ia ditinggalkan oleh Syams. Namun ketika Syams kembali, ia memasuki keterpesonaan pada cahaya yang membuat apa yang dilakukannya lebih bernilai. Tubuh Kimya nampak kurus, namun jiwanya telah tumbuh. Sekali waktu Ia berjalan diantara gang gang sempit seorang diri, ia mendengar suara mengalun diantara gang gang sempit itu. Ia mengikuti pendengarannya dengan hati hati, seperti tertarik kekuatan lain kepalanya menari lembut, ia seakan melebur, hingga sampai ditempat salahuddin Zarkob, seorang pandai besi sahabat Rumi, yang memukul mukul tembaga dengan palu perak.

“Entah apa yang menuntun diriku sampai ditempat pandai besi ini” bisik Kimya. Hati memang kadang menuntun, namun manusia tidak memahami alasannya. “Apakah engku pernah mendengar 'Batu bertuah’ benda itu bisa merubah tembaga menjadi emas” Tanya salahuddin. Belum sempat Kimya berpikir. Salahuddin berbicara  “Aku sering bertanya bagaimana perasaan tembaga ketika berubah menjadi emas, apakah takut atau tidak. Mungkin kau bisa menceritakannya Kimnya, tanya Salahuddin pelan seperti membicarakan suatu rahasia berharga yang tak sembarang orang boleh mendengarnya.

Pertanyaan yang membuat Kimya terhenyak. Pertanyaan yang membentuk keadaan sunyi lalu hening. Pertanyaan itu membayanginya sampai di rumahnya, mengapa sahabat maulana bertanya hal seperti itu kepadaku, pikir Kimya saat berbaring. Ia lalu melihat maulana Rumi datang, lalu berkata “taukah kau batu yang bertuah itu, batu itu adalah Qalbu”. Kimya seperti biasa terhenyak, andai ia membuka matanya ia tidak akan melihat wujud maulana di depannya.

Kimya melewati hari harinya, terkulai lemah. Ketika itu ia masih mengingat perkataan Syams, “Kehendak Tuhan bukan untuk dipertanyakan tetapi untuk dijalani”. Aku bukanlah apa apa, aku hanyalah kelembutan semata. Perlahan matanya terpejam, lalu kepalanya disandarkan dibantal yang menemaninya selama beberapa hari.

Dalam keadaan yang sakit, didekatnya seperti ada helai daun terjatuh menyentuh kakinya, bergerak lembut, sayapkah itu, tanya Kimya, siapa yang tengah berbisik ketelinganya. “ada masanya saat kedamaiaan dan kehidupan seperti dua aliran sungai yang mengalir berdampingan menuju lautan yang sama”. Kimya adalah mawar mawar kecil yang akan tumbuh warnanya kuning pucat dan hatinya berdarah berdarah.

Kimya kini seperti berdiri dalam kesunyian. Ia mengingat masa lalunya ketika Edvokia menghawatirkannya, “Apa yang akan terjadinya padanya kelak”. “Aku tidak apa apa, aku akan pergi ke tempat yang mebahagiakan” sahut Kimnya, entah darimana jawaban itu berasal. Kimya menyaksikan Wajah Faroukh ayahnya sudah mengeriput, cahaya berkilauaan mengelilingi rumahnya. Faroukh menangis lalu air matanya mengalir.

Kimya terbangun, ia menatap Kerra istri maulana Rumi yang berada disampingnya. Kini aku akan bebas kemanapun aku pergi. Ketika itu mata Kerra berkaca kaca. Kimya memejamkan matanya ketika melihat Syams. Dia seperti berada ditaman taman penuh lilin, angin membisikkan “ Lilin lilin itu tidaklah sama, tetapi cahayanya tetap sama. Musik music terdengar mengalun, membentuk nada lalu membisik “ Pekerjaan ini hampir rampung” . Dia diliputi kebahagiaan. Aku belum menyelesaikan apa apa.

Kaulah setiap nada,  kau jualah sang musik. Hatinya berkata, hati ini bukan miliknya lagi tetapi milik maulana. Syams , Edvokia, Faroukh, dan setiap yang ia kenali bahkan juga yang ia tak kenali. Kimnya akhirnya pergi, ia abadi dikehidupan selanjutnya, juga pada kehidupan sebelumnya.

Begitulah kehidupannya Kimya, cahaya memang tidak ditemukan dimusim dingin, tapi salju kemudian turun dan menyelimuti segala sesuatu dan semua memutih. Ia abadi dalam Kesunyian'. Maulana memang berkata "nyanyian kesunyian adalah bahasa Tuhan, selebihnya adalah terjemahan yang buruk". Kita tak perlu bercakap cakap. karena itu, kesunyian adalah bahasa kita bersama.

No comments

Powered by Blogger.