Kelahiran dan Tangisan
Kelahiran selalu ditandai dengan tangisan, tetapi bukan karena tangisan itu ia adalah suatu yang tak perlu. Tangisan dari setiap kelahiran adalah tanda adanya suatu yang baru. Karenanya tangisan selalu menjadi penanda kelahiran yang selalu ditunggu dan dicari.
Apakah memang kelahiran mesti ditandai
dengan tangisan? Sering pula kita mendengar keterlepasan suatu hal yang
tergenggam dari yang azali dan karena itu tangisan pecah. Mungkin untuk
menemukan yang lepas itu ia harus ditemukan pula dengan tangisan.
Apa yang lebih dari soal kelahiran,
muasal keadaan manusia yang menjadi sesuatu wujud. Tak luput Al-Qur'an kitab samawi
merekam kisah sebelum kelahiran itu. "Bukankah Aku ini Tuhanmu?",
"Betul engkau Tuhan dan kami menjadi saksi". Dialog yang bukan
sekedar pertanyaan, tetapi lebih dari itu; suatu perjanjian suci, karena
selanjutnya Sang Pencipta menjadikan skenario logis itu dalam menolak gugatan
pada-Nya kelak.
Rumi pelaku sufi, bicara soal negeri
kelahiran dalam puisinya "Dan selalu kita melupakan negeri kelahiran,
kecuali di awal musim semi, ketika samar samar ingat menjadi hijau lagi".
Bagi Rumi kembali ke Kota kelahiran dialami dalam kesamaran untuk menjadi
hijau, sauatu laku tumbuh. Rumi memaknai kelahiran adalah misteri nyata
sekaligus rahasia pula. Kelahiran adalah misteri yang tersamarkan. Bagi rumi
kita semisal ney (seruling) telah terpisah dari rumpunnya; bunyi ney adalah
derita keterpisahan.
Pelaku Gnostic kristian
Paolo Chelo dalam perjalanannya ke Santiago membicarakan ihwal kelahiran itu
'Belajarlah untuk lahir kembali agar engkau tak menyakiti dirimu'. Kalimat yang
menyihir siapa saja untuk tenggelam dalam misteri yang paling hening. Sebagai
gnostik, ia menyelamkan pada bahasa muasal manusia, bagaimana manusia belajar
mengasihi diri. Menyakiti adalah kita yang tak pernah lahir. Untuk itu, dalam
rentang waktu kita setiap saat mesti mengalami kelahiran yang baru.
Lao Tzu penganjur Taoisme, menyebut
dirinya sebagai bayi yang baru lahir pula. Ia mengalami suasana ‘tak mampu
tersenyum’ dan tak tau ‘tempat kembali’. Mengaggap dirinya bodoh dan tak mampu
berbuat apa-apa. Tak ada alasan lain untuk melakukan apa apa karena ia hanya
memeroleh kehidupan dari asupan Sang Ibu. Lao Tzu mengalami kelahiran baru.
Tangisan penanda kelahiran. Menjadi bayi yang tak terikat pada apa apa. Segala
yang terikat tak bisa lepas sebagaimana bayi yang merasa butuh hanya pada
asupan Sang Ibu. Karena itu tangisan pula setanda keterlepasan pada ikatan yang
membelenggu dalam diri seorang bayi.
Pada tangisan tentang kelahiran, ia
juga merupakah sejarah ketakutan penguasa. Tangisan bayi musa menjadi penanda
runtuhnya kekuasaan Fir'aun. Tangisan bayi Muhammad menjadi penanda hancurnya
"berhala" diri. Dan kedua tangisan itu dihalangi oleh kekusaan.
Tapi bayi musa mengalir bersama aliran sungai nil mencari tempat untuk
kelahiran selanjutnya.
Dalam dunia ini, kelahiran bukan
sekedar perkara yang 'tak nyata' soal perjanjian suci semata yang harus
berhenti setelah itu. Kelahiran adalah keadaan yang terus menjadi, perubahan
menjadi yang paling'nyata' . Derita sekaligus kebahagiaan.
Rumi, Paolo Chelo, pula Lao-Tzu
memang tak menyebut 'tangisan' sebagai tanda menemui kelahiran. Tetapi
kelahiran yang hidup mesti diawali dari tangisan dan selalu merentang sepanjang
kehidupan; tangisan yang membebasakan. Tangisan adalah suara 'seorang bayi,
manusia besar' yang tak membentuk bahasa, ia suara yang hanya terdengar dalam
sunyi. Tangisan tanda kelahiran, tangisan yang dirindukan Sang Ibu.
No comments