Header Ads

Kalender Politik



Januari di tahun 2016.
Ditepi arus sungai demokrasi. Beberapa orang berkumpul, duduk didepan meja bersegi empat, satu lampu ditengah mulai redup. Pembicaraan biasa berlangsung, di rumah bertemunya harapan. Seseorang datang, tiba tiba berhenti dan bertanya, mengapa masih ada kalender lama disini, ganti saja, inikan tahun baru, ucapnya tertawa.


Percakapan tiba tiba berubah, menggelikan, bibir menjelma terbuka, mulut mengecil lalu terbuka lebar, terbahak bahak."ini tahun baru, mestinya ada kalender dari anggota dewan, bupati/walikota, gubernur dan presiden. Kita benar benar butuh " cetus seseorang yang berambut gimbal disudut meja. Modal kebenarannya menulis 365 hari, tahun kapan, 12 bulan dan tanggal tanggal istimewa. Mereka itu paling lihai membuat kalender, meskipun untuk petani tanggal merah tak berguna. Bulan tak berguna karena musim yang tak teratur.

Kalender politik, didalamnya tempat kita dihibur oleh wajah lucu dan polos mereka. Kita bisa membaca janji janji yang lucu. Tiba tiba datang anak kecil melompat lompat diatas kalender sambil tertawa terpingkal pingkal. Paling tidak kami anak anak kecil masih belajar membaca, mengeja huruf yang tak berguna ini. Arus sungai demokrasi lalu menghanyutkan ingatan ke masa lalu.

Sejak tahun 2013 memang, Negeri ini dihibur dengan distribusi lelucon besar besaran, sampai anak kecil terpingkal pingkal diatas gambar kalender dua tahun lalu itu. Mungkin, karena rakyat yang memang gemar mendengar dan politisi semakin piawai memainkan instrument music politik. Kala Orde baru memang, masyarakat diajak jadi hamba kata ia. Masyarakat diajarkan mendengar baik tentang developmentalisme. Pembangunan berkelanjutan sebut rezim Soeharto. Dulu saat Soeharto, lahir politisi dari kebisuan rakyat. Sekarang ia lahir dari ramainya kalender. Dulu ada repelita pembangunan kini ada kalender rezim politik.

Sisa ajaran Soeharto masih berlanjut saat ini. Dulu memang, semuannya tertutup masyarakat dipaksa bersetuju pada pola rezim militeristik. Kini pola itu bermetamorfosa, bahkan telah berdiaspora pula. Masyarakat dipaksa dengan kata kebebasan, memilih dan menentukan wakil di eksekutif dan legislative. Namun, yang dipilih itu bukan dari figur yang hidup bersama rakyat, tapi dari partai politik. Jika dulu rezim Soeharto sekarang hidup Rezim partai Politik.

Dua tahun yang lalu pula. Di Juli dan Agustus, daftar nama wakil rakyat yang akan dipilih diumumkan. Mereka mendaku, siap mewakili rakyat. Ada ustdads,NGO, pengusaha adapula mental preman. Mereka lalu dididik dirumah rezim partai politik. Segala karakter dipilih, namun bukan soal siapa yang mampu membangun mobilisasi sosial. Mereka di unifikasi dalam wadah partai, lalu diniatkan sebagai wakil partai.  Mereka sekedar dilatih berjanji.

Samuel P Huntington, lalu mengatakan, keadaan seperti ini menghambat pencapaiaan tujuan berdemokrasi, sebab sekelompok orang tersebut memasuki wadah yang tidak mampu membentuk kecakapan pikir dan komitmen melakukan mobilisasi sosial. Lebih lanjut, partisipasi masyarakat dalam mengaspirasikan kepentingan berhenti tanpa arti karena mereka yang mengaku mewakili rakyat berubah menjadi perwakilan rezim partai politik.

Kala itu, juga sampai sekarang. Rezim partai politik , lebih menghindar dari kata mampu. Sekedar memastikan kemenangan dimana jalan utamanya adalah uang dan massa. Uang sebagai kebutuhan utama, mencerminkan struktur penopang dan pelaksana demokrasi tidak bekerja untuk rakyat. Pula, masyarakat tidak terlalu berharap banyak akan perubahan yang dilakukan oleh wakil dari rezim partai politik. Dilain sisi, massa lebih didominasi kedekatan pribadi, golongan, wilayah ketimbang kedekatan kualitas pemikiran untuk melakukan mobilisasi sosial. Simpul ini lalu dimanfaatkan oleh hasrat kekuasaan dan ekonomi.

Dalam politik, menurut Huntington, salah satu aspek modernisasi yang paling relevan dan berpengaruh adalah mobilisasi social itu sendiri. Mobilisasi sosial merupakan proses tranformasi perubahan ketika gugus komitmen sosial, ekonomi, dan psikologi yang lama terkikis bahkan hancur dan orang-orang available untuk menerima pola baru dari sosialisasi dan perilaku. Faktanya. Sejak dari reformasi, mobilisasi social ini tidak terjadi dalam rezim partai politik` Rezim ini hanya bicara sekedar lolosnya anggota partai menjadi wakil rakyat, ada pisikology baru menemukan ruang nyaman untuk tumbuh tanpa rakyat.

Mestinya rezim partai politik belajar, partai politik menjadi bagian utama dalam melakukan mobilisasi sosial. Sebab, dari partai politik tempat lahirnya wakil rakyat dan pimpinan pusat sampai daerah. Mereka memilki peluang besar dalam menentukan gugus komitemen social, apa yang perlu diterjemahkan, bagaimana ekonomi dilihat bukan sekadar masyarakat menjadi kaya, tetapi menjadikan masyarakat bermartabat dalam kehidupannya.

Di dua tahun yang lalu itu, mobilasasi social tidak diagungkan, ia digambarkan oleh kalender politik, suatu masa kehidupan kalender rezim politik. Kalender menjadi alat peraga sekaligus alat peragu. Dengan modal tahun bulan tanggal dan hari foto mereka ditampilkan. Seabrek janji ditulis oleh para rezim politik. Tulisannya bagus karena didesain sedemikian rupa, tapi ajaklah mereka menulis dikertas putih, di lapangan, di sawah bersama rakyat, apakah mereka masih bisa menulis dengan baik, apakah kaki mereka bisa melangkah tanpa beban.

Dulu, Kalender disebar, padahal kalender bergelantungan didinding. Apa hubungannya dengan Huntington. Soal kalender politik, ia bukan tampilan kemapanan, sebatas memanipulasi untuk partisispasi. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan sekedar partisipasi yang dimobilisasikan, ia bukan dari kesadaran murni masyarakat,. Harapan rakyat akan ditinggalkan. Politikus mengatakan, ini strategi, pun bukankah strategi bukan sekedar kata menang.

Sebagai wakil rakyat, baiknya mereka itu bukan hadir dikalender. Tetapi hadir di hari hari, mengenali derita rakyat saat mereka bekerja untuk hidup. Mestinya, mereka memula diri, sejak sebelum menjadi anggota partai, melakukan mobilisasi social sampai mereka mengenali arti komitmen social, agar mobilisasi social berputar tanpa diganjal roda kebodohan dan kepentingan. Pun, partai politik mesti menjadi rumah rakyat tempat mengemban amanah rakyat.

Namun tiba tiba orang dalam rumah tersebut kaget, mendengar suara fals dari wajah para politisi  dari kalender Politik yang diinjak  anak kecil." Aku sendiri tak yakin dengan apa yang kujanjikan" tapi aku begitu heran banyak masyarakat" yang memercayaiku". Lalu anak kecil itu menjawab, “Ditahun baru ini, Berikan kami sekedar kalender saja wahai para politisi, itu sudah cukup”.

No comments

Powered by Blogger.