Mencari Pemimpin
Meminjam kata Alwi Rahman,"Mari kita menaruh kepercayaan bahwa budaya kita tak pernah sepi dan tak pernah kering dari asupan karakter bagi kepemimpinan yang jujur." begitu kata Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas dalam tulisan diliterasi Tempo Makassar. Sastrawan ini lalu berujar "soal kepemimpinan masa kini mestinya bukan hanya disimulasi, dihilir dalam jabatan politik"..
Memasuki cara pikir ini, memungkinkan kita melihat kepemimpinan sebagai suatu dimensi paling mendasar dalam keberlangsungan tujuan kehidupan ummat manusia. Kepemimpinan adalah pekerjaaan yang tak mengenal tempat pesinggahan, tanpa jeda, kecuali melakukan refleksi ulang Berkhidmat pada upaya mencipta dan memertahankan hakikat manusia dan dunia sosial. Kepemimpinan adalah pekerjaan kebudayaan.
Seorang pemimpin memungkinkan dirinya membentuk suatu kebuadayaan baru, sebab kualitas personality-nya mampu menyemai, lalu menumbuhkan kesadaraan lebih ditengah masyarakat. Dengan demikian, seorang pemimpin ia yang melakukan kerja kerja menghidupkan masyarakat.
Namun, Kita telah mahfum mendengar, masyarakat adalah pesakitan ketika kekuasaan diduki oleh para perampok berbaju politik. Kebiasaan sebagian besar orang, termasuk para politikus semacam itu , memosisikan keadaan masyarakat sebagai beban zaman, mereka didakwa sebagai bagian utama dari pragmatisme, bisa dibeli uang dan segala sebab keadaan yang tak terarah. Masyarakat menjadi faktor yang terhukumi lebih ketimbang " pemimpin" yang memiliki kekuatan lebih dalam mengarahkan perubahan, termasuk menciptakan kebudayaan baru ditengah tengah masyarakat.
Era demokrasi mensyaratkan demikian, masyarakat menjadi penentu utama keadaban. Namun, jika dilihat dari budaya kepemimpinan ia tidak bisa diterima begitu saja.Masyarakat yang sakit karena pemimpin”nya yang sakit. Tugas pemimpin adalah memahami.diamnya rakyat, mengerti ucapan rakyat juga gerak tubuh mereka.
Ritual demokrasi, mesti meminjam nafas kebudayaan, ia harus melihat bahwa kepemimpinan memilki anak kandung yang halal " kebajikan ", dimana setiap tarikan nafas adalah upaya hidup dan mati melahirkan keelokan peradaban manusia.
Demokrasi, bukan sebatas memakai kemeja, dasi, topi juga lencana kebesaran lalu diatas kitab suci agama langit bersumpah, sumpah bukan sekali dan sependek waktu itu, tapi ia semula manusia berinteraksi dengan yang lain, semenjak manusia mengenal kebaikan dan keburukan, air mata dan senyuman. Kesalahan cara pikir melihat serta menempatkan posisi masyarakat sebagai penyebab utama duduknya kezaliman dikursi kekuasaan, sebagai akibat dari cara pikir yang abai melihat bahwa kepemimpinan mampu dilihat dalam perlintasan setiap kebuadaayaan.
Sejarah kepemimpinan sama tuanya dengan bumi ini, kita pula mengetahui dasar seorang menjadi pemimpin adalah ilmunya, kenyataan dalam lintasan kebudayaan bisa kita lihat semisal Opu daeng Risaju, pemimpin partai PSII luwu, yang melampaui zamanya, sejarahnya menghentak batin setiap manusia. memasuki pori pori kesadaran " Jika karena darah kebangsawanan yang mengalir dalam tubuhku, lalu aku diminta untuk berhenti memperjuangkan kemerdekaan, maka irislah kulitku lalu keluarkan darah kebangsawanan itu". Seorang pemimpin bukan hanya pemimpin dimasanya, melampaui itu, ia bisa hadir dalam setiap ruang kehidupan selanjutnya.
Pemimpin adalah bentuk rasionalitas pribadi unggul yang bekerja dan hidup dari dalam diri, menjadi medan magnet menarik masyarakat awam dan juga tercerahkan, Bukan yang menciptakan citra diri dari luar diri untuk disebut sebagai pemimpin ". Kita dulu' tak pernah membayangkan, ada sosok seorang Risma surabya, Ridwan Kamil Bandung, juga seorang Ahok di Jakrta. Seorang Ahok memilih jalur independen sampai ia dituduh melakukan deparpolisasi. itulah fenomena kepemimpinan masa kini disebagian tempat dengan tampilan wajah baru, Ketika mereka menempati posisi penting mereka menyemai dan menumbuhkan suatu kesadaran baru yang telah lama hilang
Kerja kepemimpinan, jangan dihilir soal jabatan politik, tetapi soal kepemimpinan ia menempati- berada - bisa dilihat disetiap level manapun seseorang menempatkan dirinya. lihatlah siapa yang menghilir kepemimpinan pada roda jabatan politik bukanlah pemimpin. Mungkin kita baiknya berpikir beribu kali untuk memilihnya.
Pekerjaan berat bagi kita adalah ” Kita harus jujur pada pengetahuan pengetahuan yang kita miliki, juga pada kenyataan kenyataan yang kita saksikan. Sebab kita hendak memilih manusia yang pantas untuk mencipta keadaban, mencipta kebuadayaan baru, bukan malah mencipta sayatan luka keadaban". Tapi, bukankah kita tidak memilki wewenang menilai siapa yang benar benar pantas untuk dipilih, kita memasuki dunia dimana infrastruktur politik dikuasai oleh orang yang hendak menang bukan yang hendak menjadi pelayan bagi rakyat. Kita sementara mencari pemimpin yang jujur pada dirinya bukan pada senggama kuasa atasan.
*Kita butuh pemimpin yang terlatih mengerti bahasa orang orang awam bukan mereka yang terlatih untuk berjanji*
*Kita butuh pemimpin yang terlatih mengerti bahasa orang orang awam bukan mereka yang terlatih untuk berjanji*
No comments