Menyekar Kepusara Kebangsaan
*Kita
lahir dibekali oleh dua hal,sejarah masa lalu dan pengetahuan kita* (Hajaruddin Anshar )
Perayaan
kemerdekaan seharusnya bukan ritus belaka sebab telah ada sejarah masa lalu
yang menjadi identitasnya yang perlu diingat dan dimaknai dengan pengetahuan pada
diri setiap manusia untuk menentukan bagaimana masa kini dan masa depan suatu
bangsa. Hal ini perlu kita pahami karena dalam sejarah itulah terdapat mutiara
ke- Indonesiaan yang digagas oleh semua rakyat yang diungkap lalu menjadi dasar
berbangsa. Melupakan makna sejarah akan membuat manusia membentuk suatu hal
yang kosong dari semangat sejarah itu sendiri, alih alih hendak membangun
bangsa indonesia malah pada titik inilah ada upaya mengubur makna berbangsa
kita lalu membentuk identitas lain. Dengan demikian sangat perlu menyekar “kedalam
makna berbangsa” itu, menyekar berarti menggunakan
pengetahuaan kita mengunjungi kembali mengingat makna tujuan berbangsa yang
hendak ditiadakan itu.
Apakah kita hendak mendirikan indonesia merdeka untuk
sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? mendirikan negara indonesia merdeka yang
namanya saja indonesia merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu
orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi
kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Penggalan pidato Soekarno
didepan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 juni 1945 saat menggas dasar bernegara
tersebut cukup memberikan kita dasar pijakan utuh mengenal tujuan kita berbangsa.
Kemerdekaan bangsa indonesia tidaklah dilahirkan dan diplokmirkan begitu saja
oleh Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi ia ( kemerdekaan ) telah
melalui fase perjuangan, Fase perjuangan tersebut lalu membentuk sejarah yang
pada muaranya menghasilkan kontrak sosial,
ernest reenan mengatakan Bangsa adalah suatu hasil sejarah. Sejarah yang
memiliki perekat kuat jiwa berbangsa sebab dilahirkan dari penderitaan, darah
dan nyawa. Soekarno mengatakan dasar utama bangsa kita adalah “Semua Buat
semua”
Mayoritas ataukah
minoritas dalam kebangsaan
Semua Buat
Semua” boleh kita berfikir
kebelakang atas apa yang terjadi dalam beberapa tahun ini, atas dasar klaim mayoritas mengebiri hak dasar
minoritas. Budaya demokrasi yang tidak mapan disatu sisi berefek pada
pengabaiaan hak minoritas, disebabkan kelompok minoritas dalam politik one mean
one foot tidaklah memilki siginfikansi pada perolehan pemenangan bahkan disatu
sisi dianggap sebagai bumerang dalam upaya memperoleh kemenangan, akibatnya isu
isu minoritas dalam demokrasi kita senantiasa diabaikan, saat pemilihan
presiden tidaklah kita jumpai begitu serius diungkap kekhlayak ramai. Bahkan
dalam debat capres cawapres secara resmi oleh KPU tidak pernah dibicarakan.
Merujuk survei
Yayasan Denny JA dan LSI Community, setidaknya ada 915 kasus yang terjadi di
era kepemimpinan pra SBY 1998-2004. Sedangkan era SBY dari 2005-2012 ada 1483
kasus. Dalam hal itu kasus yang paling banyak muncul adalah soal keberagamaan
67,5 %. Semua Buat semua” itualah dasar berbangsa kita, Pada faktanya, Kita
bisa menyakiskan apa yang terjadi di
negeri ini, pada beberapa tahun terakhir, sikap intoleran hidup pada individu,
kelompok / ormas yang dengan dalih ( Klaim ) mayoritas menghilangkan hak minoritas.
Penulis menggunakan kata “klaim” karena pada faktanya
individu, kelompok, organisasi itu tidak mewakili mayoritas secara keseluruhan.
Minoritas Syiah di
Sampang misalnya, harus meninggalkan tempat tinggal mereka, disana juga satu
anak bangsa harus meregang nyawa di bumi indonesia atas dasar kebenaran harus
mengorbankan nyawa. Minoritas Ahmadiyah serta Isu isu minoritas mejadi alat
propaganda kepentingan untuk pemilihan demokrasi indonesia mulai dari Pilkada,
Pileg, serta Pilpres, hal yang paling tidak bisa dicerna akal sehat adalah pada
kampanye Pilpres dimana isu etnis dan agama menjadi modal politik mobilisasi
opini dengan massif, sangat mengehrankan ada ruang kosong dinegeri ini yang
susah sekali disentuh hukum karena besarnya kekuatan yang menopangnya. bukan
hanya individu , kelompok /organisasi
intoleraan yang hendak mengubur identitas kebangsaan kita tetapi juga
negara yang alpa untuk hadir menegakkan nilai kebangsaan itu sendiri.
Menyekar kedalam makna
kebangsaan
Semua buat semua tergerus, erosi makna kebangsaan berlangsung secara nyata
dalam praktik sosial, akibatnya kekokohan dasar bangsa ini terancam oleh anak
bangsa karena unsur utama, humus yang menumbuhkan hijaunya pohon keindonesiaan
sebagai penahan erosi dan abrasi
berbangsa itu sedikit demi sedikit mulai dihilangkanBagaimanapun juga, Kita
perlu menyekar ke dalam makna kebangsaan sebab sikap intoleransi mulai mengikis
makna “semua buat semua itu”, pernyataan ini mengingatkan kita
kebiasaan manusia indonesia untuk menziarhi orang yang dikasihinya yang telah
tiada, dalam hemat penulis makna kebangsaan sementara dikubur oleh sebagian
kelompok yang intoleran dalam kehidupan berbangsa kita saat ini. Oleh karena
menyekar merupakan suatu ritus menguatkan ataukah juga menemukan kembali makna
kebangsaan itu yang mungkin saja mau, sementara, dan telah dilupakan, lalu kita
mengingatnya sebagai tuntunan menuju indonesia yang hidup dalam makna
keindonesiaan yang sesungguhnya.
Jauh sebelumnya,
Soekarno Juga mengatakan dalam pidato dihadapan BPUPKI mengatakan dasar
pengambilan keputusan adalah ‘musyawarah” yang merupakan semangat berbangsa
kita. Untuk mencapai mufakat maka tiada jalan lain dengan musayawarah duduk
bersama mengedepankan sikap manusia cerdas saling berargumentasi untuk menyatakan
pendapat. Klaim mayoritas bukanlah sebuah dasar pendapat yang sah untuk
melegitimasi setiap tindakan yang akan dilakukan bahkan menghilangkan hak
minoritas. Bagi penulis Klaim mayoritas itulah yang melahirkan konflik yang tak
berkesudahan. Jika anda mayoritas disatu kelompok, daerah atau bangsa, belum boleh
jadi adalah minoritas dikelompok, daerah atau bangsa lain. Sehingga klaim
mayoritas yang melahirkan intoleransi pada waktu yang sama melahirkan
intoleransi ditempat yang lain pula. Musyawarah dengan bijaksana adalah kunci
menyelesaikan setiap masalah yang yang ada.
Meskipun
musyawarah untuk mufakat menjadi kunci utama dalam menyelesaikan masalah yang
ada namun negara juga harus mampu hadir diruang ruang tersebut mengambil peran
kekuatan untuk menjaga harmonisasi masyarakat dalam interaksi sosial menjaga
hak hak minoritas yang memang rentan mendapat perlakuan yang tak adil sebagai
kelompok yang lemah. Pun akhirnya, inti konsep berbangsa itu peniadaan kata
mayoritas dan minoritas.
Menyekar kedalam
jiwa humanis
Bekal kedua
manusia adalah pengetahuannya namun seringkali manusia alpa dengan
penetahuannya sendiri, Pada intinya muara pengetahuan manusia dalam praktik
kehidupan sosial adalah kemanusiaan, Jiwa yang humanis adalah kunci utama yang
meleburkan beragam kepentngan yang
bertentangan tanpa saling menghilangkan hak hak dasar manusia yang lain.
Mahatma Ghandi mengatakan My Nationality is Humanism ( Kebangsaan saya adalah
kemanusian ) dengan demikian dasar berbangsa adalah setiap manusia harus
kembali menjadikan dasar kebangsaan dengan semangat kemanusiaan. Imam Ali
mengatakan jika kita tak bersaudara dalam keyakinan maka kita adalah saudara
dalam kemanusiaan pada titik inilah kebangsaan mewujud dalam makna “semua buat
semua”,bukan semua untuk satu.
Negara ini harus
dibangun diatas dasar “semua buat semua” tak ada kata mayoritas ataupun
minoritas, semua itu bisa diwujudkan dengan menghidupkan jiwa humanis sebagai
pijakan utama untuk melipat gandakan pesan pesan kebaikan dalam kehidupan
berbangsa.
Akirnya kita harus
menutup tulisan ini dengan jawaban Soekarno atas pernyataan pada awal beliau
pada tulisan diatas, “Apakah maksud kita begitu? sudah tentu tidak! baik
saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun
saudara-saudara yang dinamakan kaum islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan
yang demikian itulah kita punya tujuan. kita hendak mendirikan suatu negara
"semua buat semua". bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "Semua
buat semua".
Penulis : Hajaruddin Anshar
Terbit di Harian Palopo Pos 19 Agustus 2014
Sehebat-hebat isinya ini tulisan, tapi saya harus jujur wajah penulisnya yang akan membuat pembaca mengelepek-gelepek heheheh
ReplyDeleteApalagi kalau pembacanya cewek sudah mi, pokoknya Hantu kerinduan menyeka pusara hati
Delete