Header Ads

Setelah ini aku (tak ) akan Kuliah ?



Sore yang menyenja, sahaja semerah warna langit akan menyambut malam. Pembicaraan terjadi sebagaimana sahabat yang mengingatkan. Waktu itu, pembicaraan dimuliakan oleh siapa mengucapkannya, disakiskan  oleh Tuhan dan segala kebaikan dibumi. Aku masih mengingat ketika ayahku berbicara penuh dengan bahasa kecintaan. Nak, Kamu harus kuliah, merubah kehidupan yang lebih baik, keadaan masa kini tak kan kau jumpai pada masa yang akan datang. Banyak orang yang mau kuliah tapi tidak memilik biaya, kamu harus kuliah tutupnya, matanya menatapku mendalam.

Aku tetegun beberapa menit. Bahasaku menjelma bisu, aku memikirkan sesuatu yang tak aku kenali, perubahan yang samar. Suara ibuku merdu terdengar, menyelinap masuk kedalam jiwa terdalam mengaminkan apa yang dibicarakan saat itu “ ada baiknya memang kamu melanjutkan sekolah,  kedepan kamu akan mudah mendapatkan pekerjaan”. Senja itu menjadi saksi ketika seorang anak desa tak mengenal dunia pendidikan setelah SMA mengiyakan untuk lanjut kuliah. Pada akhirnya akupun memutuskan untuk masuk keperguruan tinggi.

Sebuah tempat yang tertata, bangunan yang dibuat oleh asrsitek, katanya ia telah direncanakan sejak awal tapi bermasalah setelahnya. Aku memasuki jalanan yang menghubungkan tepat kearah bangunan itu, suatu tempat yang diyakini mampu memberikan kepastian kehidupan yang lebih baik, kampus , ya itulah tempat orang orang yang berpengetahuan disanalah keutamaan pengetahuan dibincang bangku berjejer rapi, dosen menjadi penceramah ulung menyajikan bahan ajar,itulah sekilas yang aku lihat pertama kali aku masuk .

Seperti pada umumnya, awal kuliah harus membayar, uang menjadi sayarat utama, biayanya bagi orang seperti aku begitu mahal, menurut sahabatku dikota kota yang lebih besar dari itu biayanya tak semahal itu. Di awal masuk kuliah, aku mengikuti kuliah perdana dimana seorang Prof menjelaskan tentang dunia pendidikan. akulupa nama Prof itu ia mengatakan “Suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana pendidikannya”. Tiba tiba melintas sebuah kekagumanku aku akan masuk didunia yang akan menjelaskan bahkan mampu menyeleaikan masalah bangsa, tugas ini berat, ini juga yang dikatakan senior ketika saya mengikuti orientasi pengenalan kampus.


Akhirnya, dari semester pertama sampai dua kebiasaan seperti sekolah masih kuikuti, bahkan jika diakumulasi Indeks pretasi semesterku melewati angka tiga . Menurutku tak ada hal yang berbeda saat sekolah dulu, kecuali bahwa mata pelajaran yang lebih spesifik dan waktu dan ruangan yang terjadwal biasanya diganti begitu saja oleh dosen. Mungkin, karena itulah hampir semua orang mengatakan kampus adalah tempat untuk memastikan arah kehidupan.Sejak aku mulai membaca beberapa buku sebut saja Buku Paulo Freire mengenai pendidikan gaya pembebasan aku mulai tak tertarik dengan kegiatan perkuliahan yang terkesan tekhnokratis, aku mulai tak suka dengan kekakuan.

Bagiku kekakuan adalah hukuman. Kekakuan itu mungkin sebagaimana kursi yang dijejer rapi , susunan kursi yang tak dialogis sebagaimana juga seorang kepala pemerintahan yang sedang memberikan arahan kepada bawahan, sebuah otoritas yang melumpuhkan , menaklukkan kebebasan berfikir. Otoritas itulah yang membentuk kekakuan, ia membuang hubungan timbal balik.Sejak saat itu sebenarnya aku telah meliburkan diriku dari hal hal yang tak kusukai. Indeks Prestasi Akademik mulai menurun. Sementara sahabat sahabatku yang akademik mereka mencapai nilai yang lebih. Sampai akupun menyelesaikan study.

Sahabat – sahabatku yang memiliki pengetahuan akademik lebih, duduk setia didalam ruangan menjadi pendengar yang baik, entah dimana mereka berada. Masih ada beberapa yang aku jumpai, diantara mereka ada yang bekerja tidak sesuai dengan gelar yang mereka peroleh, sama halnya dengan diriku. Lewat sosial media aku bisa berinteraksi dengan kawan kawan lamaku itu, bahkan tak jarang mereka yang dalam pandanganku memang memilki kemampuan lebih dalam akademik ternyata memilih bekerja ditempat yang bukan untuk mentransformasikan pengetahuannya, begitupun sebaliknya. Akupun mencoba membenarkan itu, dengan pemahaman bahwa dalam pendidikan learning by doing, belajar dengan melakukan dengan demikian setiap apa yang kita kerjakan akan menjadi tempat belajar. Meskipun pemahaman seorang akademisi menolak kenyataan kenyataan seperti itu, tetapi sekali lagi itulah kenyatan, bagaimana pendidikan bukan menjadi suatu jalan mulus menetukan arah masa depan. Ternyata kepastian itu bukanlah dari gelar akademik yang dimilki.

Segerombolan orang saling berdesak – desakan, tua muda saling ingin mendahului. Kertas telah ditatarapi dalam map berwarna warni ditenteng rapi, kantor kantor pemerintah dirayapi manusia, disana tertulis loket pendafataran PNS. Hal ini terjadi hanya sesekali dalam setahun, kadang pula beberapa tahun berjeda. Aku tak mengerti apa yang terjadi, apakah ini musim kebahagiaan ataukah musim derita. Harapan dibuka oleh sistem yang ada dinegara ini, kita mengenalnya dengan kata Pegawai Negeri Sipil, sebuah kata yang menghipnotis manusia terdidik.

Urbanisasi, tiba tiba aku mengingat kata itu, sebuah istilah yang identik dengan perpindahan penduduk dari desa ke Kota. Sebenarnya bisa dilihat bagaimana anak anak dari desa pergi ke kota mencari pekerjaan.  Tak ada yang salah, sebab manusia menginginkan kelayakan hidup bahkan dijamin oleh pemerintah.
Ruang yang disebut kampus perlu menangkap gejala tersebut. Akupun mengingat pernyataan pembawa kuliah umum “Perubahan itu ditentukan oleh Pendidikan” kini akupun dengan sungguh sungguh mengulang itu dan aku belum menemukan jawaban yang pasti sejak aku melihat bagaimana keadaan saat ini, apakah pendidikan saat ini menciptakan musim bahagia ataukah musim derita. Entahlah

  
Aku kini mulai menekuni kebiasaan lama, memandangi sinar cahaya yang menumbangkan sunyinya malam. Setiap pagi aku memikirkan hal hal yang sama, memarkir ingatan masa lalu, hal yang bagiku seharusnya tak kupikirkan sebab aku kini telah menjadi seorang secara akademik lebih dari yang lain. Tapi kini aku menjumpai keadaanku yang tak wajar, tak ada hal hal baru kecuali perubahan waktu yang melumpuhkan masa hidup.

Masa depan adalah rembukan masa lalu begitu kata sastrwan Sujiwo Tejo. Apa yang kujalani dan masih menjadi bayangan bayangan yang melampauii gerak tubuhku. Bukankah mengerikan jika bayang bayang gelap terpisah dan ia mendahului gerak kita. Tiba tiba ingatan yang terparkir itu mulai bergerak lambat kearahku, awalnya samar seteiah itu mulai nampak denga wajahnya yang menakutkan. Samar karena ia dimulai dengan bayangan dan pasti setelah melewati hal hal yang katanya memastikan. Kini aku mulai membicarakan apa yang telah merepotkan ingatanku. Kesamaran lebih jelas dari langit biru, juga bumi yang mulai menua, dan panas bumi. Ini mungkin bukan kesalahan dunia pendidikan sebab memang begitulah adanya sebelum aku, kamu dan kita masuk, apakah pendidikan adalah menuju suatu hal yang samar. Entahlah

Setelah ini aku (tak ) akan Kuliah lagi

No comments

Powered by Blogger.