Header Ads

Demokrasi Masa Kini dan Konflik Agraria sebuah Otoriatarinsm Model Baru

Kebebasan adalah ketika kita boleh bicara, Demokrasi adalah ketika pemerintah mau mendengarkan.
( Allastair Farrugia )

Benarkah bahwa negara kita saat ini merupakan negara demokrasi setelah tumbangnya rezim otoritarianism Soeharto pada tahun 1998 .hal ini menjadi hal yang patut dibicarakan ulang, Pembungkaman suara masyarakat menjadi ciri khas rezim tersebut, menurut Charles DeGhaulle seorang jendral sekaligus negarawan perancis pembungkaman adalah senjata utama kekuasaan. Di era soeharto rakyat tidak memilki ruang untuk berbicara mengenai keinginan keinginan mereka, pemenjaraan pendapat dilakukan dengan terang terangan. Mulut ditutup rapat dengan memproduksi ketakutan bahkan dengan kekerasan yang teratur . Pembungkaman lewat perampasan ruang hidup rakyat dilakukan dengan kekuatan militer, selain itu KKN menjadi sisi lain yang disembunyikan, media tidak memilki kebebasan untuk mengungkap kenyataan, lalu apakah saat ini yang dianggap era demokrasi adalah terbukanya rantai yang membelenggu itu ataukah ia hanya membentuk belenggu baru dalam bentuk lain.

Data yang dikeluarkan KPA 19 Desember 2013 menunjukkan perampasan ruang kehidupan rakyat yang menimbulkan konflik agraria. Jika dibandingkan tahun 2012 terdapat tren peningkatan kuantitas konflik agraria sebanyak 171 kasus, atau naik 86,36%. Ini juga berarti, jika dirata-ratakan, setiap hari terjadi konflik agraria sepanjang tahun 2013. Sedangkan jika berpatokan kepada selama Presiden SBY memimpin, jumlah konflik di tahun 2013 naik tiga kali lipat, atau 314% sejak tahun 2009 ( sumber KPA ). Menurut Gunawan wiradi semua permasalahan agraria pada dasarnya terletak pada fakta ketimpangan dan inkompabilitas , baik menyangkut susunan sosio agraria maupun kerangka normatif yang melandasinya secara nyata. Hal itu terwujud di Indonesia pada tampilan penguasaan sumber sumber agraria serta pengalokasiannya yang sangat tidak adil begitu juga pada aturan aturan hukum dan kebijakan mengenainya yang manipulatif. Akibatnya tanah tanah pertanian rakyat tergusur dan areal perkebunan tambah besar.

Berdasarkan data KPA tersebut, ternyata Demokrasi sebagai sistem yang diharapkan mampu menangkap aspirasi masyarakat dari bawah ternyata tidak memberikan pengaruh signifikan pada penyelesaiaan konflik agraria di Indonesia bahkan konfilk agraria semakin meningkat.Trend peningkatan konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan berdasarkan data KPA tersebut mencerminkan bagaimana sistem demokrasi kita malah bekerja sedemikian rapi dalam memapankan perampasan ruang kehidupan rakyat yang mengakibatkan akses masyarakat untuk hidup dari wilayah kelolanya menjadi hilang akibatnya terjadilah ketimpangan penguasaan tanah. Salah satu faktor yang mengakibatkan ketimpangan penguasaan tanah yang berujung konflik adalah masuknya perusahaan bersama dengan perangkat pemerintahan yang dikendalikan lewat hukum yang manipulatif. Jika pada era orde baru perampasan ruang hidup rakyat dengan bergabungnya militer dan negara maka pada era demokrasi ini maka perampasan tanah/ruang hidup rakyat lewat pembentukan aturan regulasi, maka partai politik menjadi instrumen utama melancarkan perampasan ruang hidup masyarakat sekaligus juga sebagai pemicu terjadinya konflik agraria.

Saat ini rakyat memang bebas bersuara bahkan dijamin dalam konstitusi negara mengenai kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Sejauh ini demokrasi hanya menjadi sebuah harapan sementara disatu sisi demokrasi menjelma dalam bentuk lain berupa otoritariansme baru. Polanya adalah melegalkan perampasan ruang hidup rakyat dengan dalih kepentingan rakyat. Demokrasi kita saat ini meskipun lebih berjalan dalam mekanisme prosedural namun tetap diharapkan mampu menjaga serta mengakomodir kepentingan masyarakat, pada faktanya demokrasi menjadi alat memapankan serta memperteguh kekuasaan birokratis memilki power yang luar biasa dalam merampas ruang hidup rakyat sehingga konflik agraria semakin meningkat. Rakyat berdaulat lewat suaranya maka pada saat pesta demokrasi pemilihan wakil rakyat disitulah jalan membius masyarakat. jika pada masa era soeharto pencaplokan tanah (Land grabbing) dilakukan melalui penggunaan kekuatan militer bekerjasama dengan koorporasi besar, saat ini pola itu bergeser melalui jaminan aturan hukum yang dibuat oleh wakil rakyat dan pemerintah Ketimpangan penguasaan tersebut membuat masyarakat semakin lemah "Siapa yang menguasai tanah ia menguasai pangan, atau, ia menguasai sarana prasarana kehidupan siapa yang menguasai sarana prasarana kehidupan maka ia mengusai manusia (Tauhid 1952 )

Cerminan konflik Agraria yang terus meningkat membuat rakyat semakin kehilangan aksesnya terhadap wilayah kelola mereka menjadi sebuah fakta nyata bahwa negra ini setengah hati berdemokrasi. Seperti biasanya banyak orang yang mengatakan bahwa demokrasi kita berlangsung dalam hal proseduaral namun tidak dalam hal subtansial. Jika subtansi demokrasi tidak berjalan maka kita belum melaksanakan demokrasi, "kita hanya diberikan kebebasan" tetapi apa yang kita suarakan selalunya diabaikan, sebagaimana penjelasan Allastair Farrugia Kebebasan adalah ketika kita boleh bicara, Demokrasi adalah ketika pemerintah mau mendengarkan.

No comments

Powered by Blogger.