Header Ads

Tradisi Partai Politik , Penciptaan Kejenuhan Sosial.




Pada prinsipnya, manusia selalu berkeinginan untuk menata keadaaan hidupnya kearah yang lebih baik, membangun strategi demi mencipta suatu tatanan yang lebih dari keadaan sebelumnya, berupaya menghindari terciptanya suasana yang mencipta instabilitas sementara pada sisi lain berusaha mengkristalisasi harapan kelompok dimana dia hidup. Fenomena tersebut memunculkan pandangan bahwa perlu ada suatu sistem untuk mengkristalisasi upaya tersebut demi pewujudan harapan dalam suatu komunitas ( social interaction ). Sejarah demokrasi menunjukkan, partai politik adalah lembaga resmi sebagai pencipta kebijakan dalam bingkai kebijaksanaan. Tradisi partai politik sebagai kebiasaan - kebiasaan dalam melembagakan kepentingan masyarakat menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Partai Politik dewasa ini begitu banyak. Selanjutnya dengan ragam partai politik tersebut apakah tradisi partai politik searah dengan keharusan tradisi partai politik ataukah ikhtiari tradsi partai politik malah mewujudkan kejenuhan sosial dalam alam kehidupan masyarakat. Apakah kejenuhan itu benar terjadi atau tidak. 

Titik kejenuhan sosial ada dua pertama keadaan dimana gejala sosial yang muncul bisa ditangkap dengan bekal inderawi semata, gejolak gejolak yang mengancam stabilitas sosial nampak nyata didepan mata  atau terjadi secara aktif dan masif, kedua titik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Pada point manakah masyarakat berada. Hal ini perlu diulas dengan mengungkap kenyataan yang terjadi versus keharusan yang mesti terjadi.

Di Negara demokrasi, tradisi partai politik menjadi suatu hal yang perlu ditelaah lebih jauh, dikarenakan ia ( tradisi partai politik ) merupakan bagian penting dari upaya penyatuan heterogenitas (unity of diversity) demi pencapaiaan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Bagaimanapun juga, antara kenyataan sosial berupa kesejahteraan dengan ragam harapan masyarakat  untuk menjadi lebih baik membentuk jarak yang saling menjauh, Melebarnya jarak tersebut adalah kenyataan tersendiri yang menciptakan ruang kekacauaan sosial yang diam ( silent instabilitation ). Dalam pandangan Samuel P. Huntington seorang pemerhati demokrasi modern mengatakan “semakin maju suatu bangsa atau negara maka didalamnya ada tradisi partai politik yang mapan’’( Tertib politik , Samuel P Huntington ), jika teori tersebut dijadikan tolak ukur maka partai politik dengan kenyataan yang mewujud pada masa kini seharusnya mengkritisi taradisi politik yang dibangunnya.

Pada sejarah partai politik di Indonesia, matlumat pemerintah No X 1945 dengan bunyi pertama pemerintah menyukai timbulnya partai partai politik karena dengan adanya partai itulah, dapat dipimpin kejalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat ( Politik Hukum, mahfud Md ). Sejak saat itu, pada bulan januari 1946 lahirlah partai partai politik seperti Masyumi, PKI, Partai buruh indonesia dll. Diera Soeharto dengan budaya develompmentisisme hanya ada 3 partai saja sementara itu era reformasi melahirkan fenomena baru, partai politik menjadi liar sebagai bagian utama demokrasi. Jumlah partai begitu banyak sementara arah politik / kebijakan untuk rakyat semakin kabur. Dalam kenyataannya pula, Jumlah partai sangat banyak, ini mengindentifikasikan bahwa betapapun semangat pembaharuan menjadi semangat yang lahir dari rahim reformasi namun perubahan yang diharapkan memiliki beragam bentuk.  Muncullah kelompok kelompok baru yang membentuk partai namun disisi lain kekacauaan sosial juga semakin meningkat. Tradisi partai politik dewasa ini menunjukkan liberalisasi kepentingan rakyat juga kepemimpinan yang tidak memiliki nuansa karakter yang kharismatik.

Liberasasi Partai Politik serta Liberlisasi Kepentingan Rakyat.

Kemungkinan  kemungkinan akan perubahan menjadi sesuatu yang mudah diumbar dalam melakukan mobilisasi massa demi tujuan pengikatan ingatan pemikiran masyarakat, dengan demikian yang terjadi adalah mobilisasi yang tidak sehat. Liberalisasi partai politik telah mengahasilkan ragam penafsiran terhadap kepentingan rakyat, biasanya kenyataaan dilapangan tidaklah serumit yang dipahami oleh partai begitupun sebaliknya, liberalisasi partai politik malah membagi kepentingan kepentingan masyarakat menjadi sangat plural, dimana liberasiasi pembacaan kepentingan itu dijadikan komoditas bahan dagangan oleh partai politik. Kepentingan rakyat pun dijadikan komoditas yang dieksploitasi demi kuasa pemenangan dikarenkan partai bersaing dalam memoles bahasa tentang apa yang diinginkan oleh masyarakat.

Demi dan atas nama rakyat, itulah yang terjadi. Disatu sisi partai politik menjual kata rakyat, teori Aristotelian etic menganggap politik sebagai pengabdian sementara Machvellian etic menganggap bahwa politik adalah saling menguasai, fenomena menunjukkan sisi yang nyata bahwa rakyat mulai apatis dikarenakan politik yang digandrungi adalah politik saling menguasai, Culture atau tradisi politik yang tidak memiliki pandangan serta arah yang jelas dalam memosisikan masyarakat membuat masyarakat menjadi apatis. Sebuah kenyataan yang saling melengkapi dan menyempurnakan keadaan yang begitu memprihatinkan berupa semakin melebarnya jarak antara tugas kekuasaan politik sebagai upaya menciptakan kebijakan sebagai kewajibannya terhadap semua level masyarakat.  Kesejahteraan antara si-miskin dan si-kaya menjadi kenyataan yang selalu saling menjauh, menyejarah tanpa mau dihentikan. Kekuatan politik benar benar dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok elite disatu sisi kewajiban pada rakyat diabaikan.

Pada tatanan masyarakat yang sedang berubah, yang mengantarkan budaya apatis atau penciptaan titik kejenuhan social,  masyarakat memahami bahwa ia tidak menjumpai perbedaan ikhtiari personal dengan hadirnya system yang diduga sebagai sarana pendukung perubahan yang lebih sistematis. Atau bisa dikatakan jika tanpa negara begitulah keadaan rakyat, tanpa negara apa yang dialami masyarakat akan tetap sama. Ikhtiar personal (keadaan diri) dianggap sebagai bagian mandiri dari upaya individu juga masyarakat dimana negara tidak memiliki kontribusi nyata terhadap perubahan keadaan. Jadi bisa disimpulkan bahwa fungsi demokrasi berupa pemberdayaan oleh pemerintah sangat minim sementara yang berjalan hanyalah fungsi fungsi adminstartif. Implikasinya, masyarakat yang terpinggirkan dalam pemenuhan kepentingannya hampir selalu beroposisi dengan kehendak pemerintah karena masyarakat berada posisi kebutuhan berdasarkan kenyataan yang mereka alami dan mengharapkan keharusan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dirinya/ kelompoknya, sementara pemerintah hanya berkutat pada fungsi administrasi dimana pada fungsi fungsi adminstarsi atau formal tersebut masyarakat selalu terpinggirkan karena pemerintah hanya berkawan dengan kelompok elite elite politik semata, dimana elite elite politik  yang diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat telah memisahkan diri dari masyarakat  dalam fungsinya.

Dengan kenyataan sebagaimana yang dimaksud dengan kesan rakyat pada ikhtiari personal yang mandiri itu, Peluang munculnya kekacauaan sosial akan semakin mengkhawatirkan meskipun dalam kehidupan sehari hari terkesan masyarakat acuh atau apatis. Munculnya kekacaauan sosial atau instabilitas yang tiba tiba atau sangat susah diprediksi kapan terjadinya akan terjadi tanpa disadari. Ini disebabkan karena suatu saat nanti masyarakat akan sampai pada kesadaran titik jenuh dimana telah menganggap kekusaan negara dan fungsi partai politik sebagai hal yang tak bermanfaat. Jikapun liberalisasi partai politik menggejala maka seandainya ada pemimpin yang muncul dengan sosok yang khrismatik , cerdas, dan arif akan sangat mengurangi keadaan yang penuh dengan kelengahan penguasa pada rakyat, atau dalam pandangan soekarno, dalam era dimana banyak partai maka harus ada “sesepuh” ia mengatakan bahwa negara indonesia dengan bergam partai harus dipimpin oleh seorang sesepuh, lantas apakah tradisi kepemimpinan dalam partai politik melahirkan seorang sesepuh.

Kepemimpinan Dalam Tradisi Partai Politik.

Kepemimpinan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena seorang pemimpin diharapakan mampu mengorganisir kepentingan masyarakat agar bisa mewujud dalam suatu kebijakan yang ideal. Namun perlu dilihat secara seksama bahwa dalam sistem pemilihan umum kita, seorang pemimpin itu adalah suguhan partai politik. Partai politik memiliki andil utama dalam menyiapkan siapa yang layak menjadi seorang pemimpin. Kenyataan inilah yang kita lihat saat ini, lantas apakah memang pemimpin dari partai ini benar  benar sesuai dengan kehendak rakyat. Fenomena tradsi partai politik menunjukkan tradisi pencitraan yang tidak alamiah, proses partai politik mendesain realitas eksternal untuk menciptakan kualitas personal pemimpin yang diajukannya, model kepemimpinan yang demikian itulah yang menimbulkan malapetaka sosial. Teori sifat kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah atribut yang dilekatkan oleh seorang individu atau kelompok yang lain pada diri seseorang, tetapi sesungguhnya atribut - atribut kepemimpinan itu telah melekat pada diri pribadi seseorang itu, atribut kepemimpinan itulah yang menjelaskan kualitas kualitas pribadinya atau dengan kata lain transformasi kualitas personality internalnya lah yang memengaruhi realitas eksternalnya, bukan sesuatu yang dinisbatkan oleh orang lain untuknya (Pencitraan).

Titik kejenuhan sosial, bius demokrasi

Pada kenyataannya titik kejenuhan masyarakat telah kita jumpai, namun lebih kepada poin kedua pada awal bahasan, titik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Hal ini disebakan oleh kenyataan tradisi politik yang sakit, Partai yang hendak menyegerakan pembedahan penyakit masyarakat serta pembenahan ekonomi malah membiarkan keadaan tradisi partai dalam keadaan sakit sehingga tradisi tersebut malah mempercepat tumbuhnya penyakit masyarakat serta menambah kemisikinan. Pada kenyataannya desain kepemimpinan partai menjadi suatu hal yang perlu menjawab beragam kekurangan partai politik, namun malah semakin fatal bahwa kenyataan desain kepemimpinan dalam partai politik belumlah menunjukkan pengkristalan keharusan kepemimpinan dalam tradisi partai politik.

 
Kondisi kekinian menunjukan antara nagara sebagai jelmaan upaya pewujudan kesejahteraan dengan kehidupan rakyat sebagai sebagai tujuan saling beroposisi paling tidak bahwa ada kenyataan kejenuhan dalam ruang tunggu penciptaan impian itu. Kejenuhan yang lahir karena mobilitas rakyat yang dihentikan oleh upaya sebagian kalangan, dimana rakyat sekedar obyek yang terpikirkan sehingga masyarakat menjadi kelompok yang dipasung dalam logika partai politik. Dugaan ini menjadi kenyataan dikarenakan harapan rakyat adalah komoditas yang selalu diperhatikan serta dilestarikan demi upaya pencapaiian tujuan tujuan yang oportunis oleh partai politik dengan demikan maka rakyat dibelenggu dalam keadaan tidak sadar karena bius demokrasi yang mengatasnamakan rakyat.

Bius demokrasi yang dimaksud berupa penggilaan diri terhadap arti demokrasi yang tidak rasional, dimana sistem demokrasi begitu diagungkan sementra tujuan demokrasi hanya dalam ilusi. Perjalanan demokrasi (culture of democracy) yang dijalankan oleh partai politik tidak berjalan dalam wilayah kesadaran untuk rakyat. Pelupaan rakyat yang terencana karena demokrasi hanya medan pertarungan dalam nalar saling menguasai inilah yang mungkin disebut alirasn politik Hobes dimana politik adalah pertarungan untuk saling mengusai, pertarungan antara agama dan negara. Bius demokrasi melahirkan pemimpin politik’ yang menguasai  bukan dari kualitas ilmu, serta karakter kepemimpinan yang sebenarnya.

No comments

Powered by Blogger.