Header Ads

Konflik Klaim Hutan Lindung Battang Barat, Potret Kebijakan yang Tidak Partisipatif




Battang Barat merupakan daerah yang terletak disebelah barat kota Madya Palopo, propinsi Sulawesi Selatan, daerah ini berbatasan langsung dengan kabupaten Toraja Utara. Secara geografis merupakan daerah pegunungan,  dihuni oleh masyarakat adat Ba’tan yang telah ada sejak zaman Belanda, daerah ini dikenal dengan nama kampong to’ Jambu. Kawasan tersebut dihuni sekitar 220 kepala keuarga. Sekitar tahun 1950 masyarakat adat Ba’tan masuk kedalam hutan disebabkan ketakutan pada tentara yang melakukan operasi militer, mereka masuk bersama  tentara Abdul Qahar muzakkar yang melakukan perjuangan penegakan syariat islam (DI/TII). Selama satu tahun masyarakat adat Ba’tan berada didalam hutan lalu kembali kelokasi pemukiman asal mereka yang sekarang dikenal dengan Battang Barat.
Awal mula kepemilikan lahan serta konflik
Sekitar tahun 1960 warga yang kembali kedaerah kampong (perkampungan) to’ Jambu, bermukim serta mengelola lahan yang mereka semula tinggalkan. Selain masyarakat asli yang datang menempati lahan tersebut, datang juga masyarakat dari luar kampong to Jambu, bahkan sekitar tahun 1968 - 1969 pejabat - pejabat pemerintahan datang untuk menempati lahan didaerah tersebut seperti Mayor Palimbong,Andi Oddang (Gubernur Sul – Sel), Samad Suaib (Bupati Luwu), Andi Lolo (Bupati Toraja), Panglima Aziz, serta masyarakat Toraja yang memiliki kedekatan wilayah dengan Battang Barat . Mayor Palimbongan memberikan sumbangsi besar terhadap  cara bercocok tanam serta mendatangkan tanaman seperti cengkeh dan kopi rebusta ( Ayyub, to’ matua to jambu). Lokasi hutan yang ditempati oleh pejabat pejabat dari luar inilah yang paling banyak masuk kedalam wilayah hutan lindung, luasnya ± 75, 71 H (hasil pemetaan partisipatif masyarakat Battang Barat, YBS, WALLACEA; 2010). Pendatang dari luar begitu mudah memperoleh lahan dikarenakan kondisi pisikologis masyarakat yang begitu takut dengan seragam militer dan pejabat pemerintahan pada zaman orde baru
Daerah Battang Barat, secara geografis merupakan pegunungan berpotensi untuk terjadinya longsor. Tahun 1987 terjadi longsor yang mengakibatkan 5 korban jiwa satu janda, dua orang suami istri, serta dua lagi korban laki laki dewasa dan perempuan. Setiap keluarga korban diberikan santunan 5 juta, Bupati Luwu pada saat itu masih dijabat oleh Mubaradappi. Pemerintah  provinsi membuat kebijakan relokasi terhadap warga Battang Barat. H. Hamzah, kepala desa Battang Barat menandatangani kesepakatan transmigrasi warga ke Luwu Utara Kecamatan Lara (Lara VIII) sebagai hasil dari rapat pertemuan dengan pemerintah propinsi dan Kotip Palopo. Kebijakan transmigrasi tersebut menimbulkan permasalahan, Warga to’ jambu menolak pemindahan, dikarenakan tidak adanya warga yang terlibat didalam pengambilan keputusan itu, warga to’ jambu menolak termasuk Ayyub (sekarang to mato ba’tan) ketua RT pada saat itu .Ayyub melakukan penolakan dengan melakukan persuratan lewat kotak pos kepada pemerintah Palopo, Ujung Pandang ( sekarang Makassar) namun tidak direspon , sampai akhirnya beliau mengirim surat ke pemerintah pusat (Kehutanan) dan akhirnya tim dari jakarta pun turun, dalam surat tersebut ia mengatakan “ kerusakan atau masalah yang terjadi dikarenakan petani - petani berdasi (Ayyub).konflik pun mulai terjadi. Meskipun banyak warga menolak rencana transmigrasi, namun akhirnya kebijakan tersebut dijalankan. Transmigrasi dibagi dalam tiga kelompok. Pemerintah membujuk warga dengan kata kata “ kenapa tidak pergi, biarmi orang tua yang tinggal “ bahkan dengan nada ancaman seperti mau di tenggelamkan di laut.
Konflik didaerah Transmigrasi
Warga yang telah di transmigrasikan ke daerah Lara, tepatnya di Kecamatan Lara, kabupaten Luwu Utara disediakan lahan seluas 1 ¼ Hektar termasuk didalamnya rumah tempat tinggal, serta dijamin biaya kehidupan selama satu tahun. Sekitar  satu tahun dilahan transmigrasi, timbul konflik tanah antara penduduk asli dengan warga Battang Barat. Mangga Barani yang pada saat itu merupakan KAPOLDA Sulawesi Selatan datang kelokasi untuk menyelesaikan masalah tersebut namun timbulnya konflik tersebut membuat masyarakat adat to’ Jambu merasa tidak hidup nyaman. Akhirnya sejak tahun 1989 warga Battang Barat kembali daerah asal adat to battang di battang barat meskipun tidak bersamaan.
BKSDA Vs Warga Adat Ba’tan To Jambu
Kembalinya  masyarakat adat Ba’tan didaerah asal mereka (Battang Barat) ternyata membuat konflik baru. Awalnya warga menempati kembali daerah yang telah mereka tinggali pada saat ikut dalam transmigrasi. Aktifitas pertanian dengan corak perkebunan kembali digeluti oleh warga Battang Barat. Selain itu warga juga melakukan aktifitas penangkapan kupu - kupu. Penangkapan kupu - kupu ini telah menjadi kebiasaan atau pekerjaan warga adat Ba’tan sejak dahulu, namun warga melakukan itu jika ada permintaan dari daerah luar seperti Bantimurung, Maros (Zaenal Ahmadi).
Dalam rutinitas warga masyarakat To Jambu, Battang Barat yang kembali menggeluti aktifitas perkebunan khas dataran tinggi. Timbul konflik - konflik yang mengakibatkan ketegangan antara warga dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Konflik yang terjadi seperti pencabutan tanaman perkebunan warga seperti kopi, cengkeh,selain itu hasil kekayaan alam hutan berupa rotan, kayu kering yang diambil dari hutan dipotong potong oleh petugas BKSDA. Korban dari perlakuan kasar dari petugas BKSDA seperti orsan, tarubbua, linggi, pak sarma (Darmin Amu). Selain perlakuan berupa pencabutan dan pemotongan tanaman serta kekayaan alam warga, petugas BKSDA selalu berbicara kasar terhadap warga Battang Barat. Jika dilihat mendalam Sebenarnya masalah ini bermula dari penetapan kawasan hutan lindung tahun 1983 oleh menteri kehutanan yang tidak partisipatif. Pemetaan penetapan kawasan hutan lindung itu tidak diketahui oleh warga battang barat, menurut Darmin salah satu tokoh masyarakat warga,pemerintah tidak pernah melibatkan warga Battang Barat dalam penentuan tapal batas kawasan hutan lindung apa lagi daerah ini adalah kawasan adat dan batas wilayah telah ada sejak zaman pra kemerdekaan. Upaya upaya merelokasi warga kembali diupayakan oleh pemerintah kota palopo setelah terjadi longsor di Battang Barat pada bulan September 2009 yang menimbulkan 13 korban jiwa. Rencana itu di tolak oleh warga.

Kalau kami masyarakat mau dipindahkan lebih baik panggil semua masyarakat disini untuk berbaris lalu bunuhlah kami satu persatu (Darmin Amu, Warga Battang Barat)

Puncak konflik antara warga Battang Barat dengan BKSDA terjadi, saat salah seorang warga  Battang Barat Dani Mantong ditangkap oleh BKSDA tanggal 22 Februari 2010. Proses penangkapan yang tidak melalui prosedur menimbulkan kekesalan warga yang baru mengetahu kalau pa’ mantong di tahan di LAPAS kota palopo setelah ditahan dua hari.  Dani mantong yang lebih dikenal dengan nama pa’ mantong yang tinggal di sebuah rumah darurat pasca bencana longsor di kawasan permukiman dengan ukuran 5 X 7. Akhirnya ditahan tampa ada alasan yang jelas serta prosedur penangkapan yang benar
Awalnya Pa’ Mantong yang pada hari itu berangkat ke Kota Palopo dipanggil pihak BKSDA ke kantor BKSDA setelah pa’ Mantong membayar cicilan motornya, setelah dikantor dan diinterogasi oleh pihak BSDA (Hasanuddin) pa’ mantong yang belum makan siang diajak keluar dengan dalih bahwa pihak SDA akan mentraktir makan pa’ mantong, namun ternyata pa’ Manttong di arahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kota Palopo. Dari penangkapan inilah warga mulai mengetahui alasan kenapa pa’ mantong ditangkap dan menjawab semua keresahan warga yang selalu mendapat perlakuan kasar dari petugas BKSDA kenapa tanaman mereka dicabut serta hasil kekayaan alam yang mereka peroleh dirusak oleh BKSDA, Ancaman pembongkaran rumah yang dilakukan oleh pertugas BKSDA bahkan mengintimidasi warga Battang Barat, ungkapan yang sering dikatakan oleh petugas BKSDA yang menurut warga melukai dan menjajah hak mereka  “ rumah ini adalah rumah kalian, tetapi tanah ini milik kami “ klaim hutan konsevasi BKSDA mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No 663/Kpts-11/1992, keputusan gubernur  No 276/ IV/1999, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 890/Kpts-II/1999 yang menjelaskan bahwa wilayah Battang Barat termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung Nanggala 3 dalam keputusan itu menunjukkan bahwa sekitar ±500 hektar tanah yang dikelola rakyat masuk dalam kawasan tersebut.
Keputusan tersebut menurut warga Battang Barat merupakan suatu hal yang keliru dikarenakan tidak melibatkan warga sebagai obyek atau orang yang akan terkena dampak dari kebijakan itu. Beberapa starting point yang dianggap merupakan kesepakatan dari warga menurut pemerintah yang ditolak warga diantaranya :

Behwa menurut pernyataan dari pemilik tanah yang tanahnya berbatas dengan kawasan hutan, berdasarkan dari wakil - wakil penduduk/persekutuan hukum sebagaimana yang tercantum pada berita acara pengakuan hasil pembuatan batas fungsi kawasan hutan 28- 10- 2004 dalam kawasan tersebut tidak terdapat lagi tanah tanah dan atau bangunan beserta tanaman.tumbuh terhadap mana mereka mempunyai hak milik (Draft depertemen kehutanan badan planologi  hutan lindung nanggala 3 kec. Tellu wanua, palopo)

Berita acara ini adalah sebuah kebongan karena tidak pernah ada perwakilan dari warga Battang Barat dalam pertemuan tersebut. Selain itu adanya nama warga yang disebut sebagai  perwakilan warga dalam berita acara itu adalah tidak  benar, seperti adanya nama Abdul Waris yang dianggap tokoh masyarakat, padahal warga tidak pernah mewakilkan kepada siapapun (Ayyub to matua Ba’tan). Dari rentetan peristiwa pengalihan kawasan kelola masyarakat menjadi hutan lindung tersebut menunjukan adanya kebijakan yang tidak partisipatif.
            Penangkapan pa’ mantong yanng mengungkap semua bentuk kebijakan yang dibuat pemerintah membuat warga melakukan inisiatif meminta pendampingan terhadap kasus itu. Warga Battang Barat bekerja sama dengan Yayasan Bumi Sawergading (YBS) dan WALLACEA. Pendampingan dimulai dengan upaya pembebasan terhadap pa’mantong yang ditahan di LAPAS Palopo. Mantong yang ditahan tampa diadili kemudian divonis 4 bulan  merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak manusia untuk memperoleh keadilan. Aksi - aksi pendampingan yang dilakukan oleh mahasiswa dan LSM YBS dan WALLACEA dilakukan sejak bulan April sampai September 2010, pendampingan ini berhasil membebaskan pa’ mantong sehingga hanya menjalani kurungan penjara selama 2 bulan, dan dua bulan tahanan luar. Sampai saat ini konflik masih berlangsung dikarenakan pemerintah masih terus berupaya memindahkan warga dari tanah tempat kelahirannya dengan alasan bencana alam.
Kami dari warga mengharapkan agar batas wilayah BKSDA yang masuk kedalam wilayah hak kelola masyarakat agar di geser, sehingga kami bisa mengelola tanah yang telah kami kelola dari dulu (Zaenal Ahmadi)
Ditulis dari hasil advokasi di Battang Barat pada 17 Desember 2011
Oleh : Hajar Alfarisy









No comments

Powered by Blogger.