Partai Politik Tanpa Komunitas
Dijalan
- jalan kota. Gerombolan anak anak muda menenteng bendera - bendera partai.
Mereka menancapkan tiang - tiang dipinggir jalan setelah mengikat bendera
diujungnya. Kadang ketika tak mampu ditancap, ia diikat diantara tiang tiang
lampu penerang jalanan. Jikapun tak mampu bendera partai itu diikat dipohon
pohon yang meneduhkan jalanan. Sementara di gedung – gedung besar, hotel
berbintang kader kader partai menyamun diri.
Tradisi
partai politik, menggempita dalam ruang structural. Tidak lebih ketika
deklarasi pembentukan partai, pemilihan ketua dari tingkat daerah sampai pusat.
Setalah itu, kita tak lagi mengetahui apa yang mereka lakuakan. Suatu kehidupan
politik yang riuh dalam perebutan jabatan, namun seketika bisu ketika bicara
soal kepentingan besar, menjembatani harapan rakyat.
Partai
menghimpun kekuatan kala mengejar kursi parlemen, setalah itu kita tak
menjumpai suatu pertemuan selanjutnya. Jarang yang kembali bersama rakyat bercerita
panjang tentang harapan ketika menang apalagi ketika kalah. Tak ada “komunitas
politik” hingga akhirnya kerja politik sebagai rengkuhan ide – ide kerakyatan
menjelma dalam ide politis. Tindakan mereka tak memilki keterakaran dalam
harapan masyarakat. Jikapun ada yang kembali duduk bersila bersama rakyat ia
menyiapkan diri menerimka kutukan : politisi kesepian. kutukan dari kejahatan
politik.
Apa
yang salah, partai politik sebagai komunitas pelembagaan ide kerakyatan tidak
berjalan dengan baik. Ketidak terakaran tindakan sosial kader partai tidak
pernah dikoreksi bersama sebagai suatu komunitas nyata; interaksi gagasan-
tidak sesemangat ketika mendirikan partai atau ketika menghelat pemilihaan
pemimpin partai. Belum lagi system perwakilan lewat partai politik selalu
berubah – ubah. Demokrasi prosedural seringkali dikatakan berlawanan dengan
demokrasi subtansial. Padahal sebenarnya prosedural demokrasi adalah jalan bagi
demokrasi subtansial, Huntington menyebutnya demikan. Dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Prosedural demokrasi yang mapan akan membentuk suatu pelembagaan
komunitas, wewenang yang baik pula.
Tak
adanya koreksi atas ketidakterakarannya tindakan social mereka dan berubahnya
prosedur sesuai dengan keinginan mereka memunculkan egoisme individu dan
kelompok. Partai politik demi menunjukkan eksistensi politisnya kadangkala
tampil dengan pemaksaan pembenaran teoritis dalam menunjukkan posisinya yang
selalu dianggap benar. Anggota partai lalu membangun argumen sekedar
merasionalisasikan apa yang mereka lakukan. Persoalannya kemudian kita tidak
bisa menemukan kejujuran pada pengungkapan fenomena kebuadayaan politis yang
terus berkembang. Problem ini lalu mengurangi atau bahkan menyembunyikan fakta
– fakta yang menjadi penyakit partai politis sendiri. meskipun hal ini selalu
dibenarkan dengan dalih kita baru belajar demokrasi. Jika demikian halnya
muncul pertanyaan, ketika rakyat tak pernah memanen maka sejak kapan pesta
demokrasi itu ada.
Apa
yang mesti dilakukan oleh partai politik, pelembagaan ide ide politik dalam
suatu komunitas kecil menjadi alternatifnya. Komunitas partai politik: sebagai
penjelmaan ide – ide kerakyatan harus membentuk ramuan pembangunan lokal yang
pada akhirnya merupakan wajah dari keterwakilan kepentingan masyarakat. Tentunya
ide ini bisa diterapkan dalam komunitas yang paling kecil misal satu desa, yang
kemudian nantinya membentuk suatu “rumah kebudayaan partai” yang merupakan
wujud “Indonesia kecil” dalam paradigm politik mereka. Di ruang itu, segala
iktiar politik partai dimobilisasi untuk melahirkan komunitas yang mapan dalam
hal ekonomi, sosial dan budaya.
Kita
terbiasa menyaksikan partai telah lama membentuk diri, kadang harus terpental
dalam masalah ambang batas partai, seteru itu kemudian disebut sebagai cara
partai – partai besar menghabisi partai partai kecil. Tak jarang kemudian
mereka yang tak mendapar ruang elite kekuasaan berevolusi membentuk wujud
partai baru meskipun dengan bahasa – slogan yang berbeda. Melihat itu alangkah
baiknya memang partai politik menyegerakan diri membentuk suatu rumah kecil,
suatu komunitas yang mereka rencanakan hingga masyarakat dapat mengetahui
bagaimana wujud Indonesia kecil dalam memobilisasi kepentingan mereka.
Andaikan
komunitas politik itu terbentuk, maka semangat anak anak muda tidak lagi
sekedar meneteng bendera dan memasang umbul - umbul partai dimalam hari sebelum
musayawarah partai. tidak lagi sibuk hanya membentuk pengurus pengurus baru
kemudian harus tersisih kemudian. Energi anak anak muda itu bisa ditransfer ke
ruang publik yang nyata “Desa” sebagai suatu komunitas politik dilain sisi
transformasi pengetahuan- kaderisasi berjalan saling melengkapi hingga akhirnya
terbentuklah Indonesia mini dalam kacamata partai politik.
No comments