Header Ads

Incumbent dan Pilkada




Memerhatikan proses demokratisasi kepemimpinan di daerah mestinya tidak berhenti pada soal kebebasan warga negara dalam menentukan pilihan siapa yang akan memimpinnya. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa penyerahan kepemimpinan dari masyarakat menjadi pilihan paling mendasar untuk menjembatani harapan masyarakat dengan pemimpin pilihannya. Melewati sesingkat argumentasi itu, menyajikan fenomena prilaku kepemimpinan kepala daerah menjadi penting untuk segera dilakukan agar kita tidak seperti orang kehausan yang berharap fatamorgana dipadang pasir, suatu oase kekeringan dalam gurun pasir demokrasitisasi kepemimpinan.


Pemilihan kepala daerah, mungkin bisa disebut sebagai satu bagian fatamorgana demokrasi bagi rakyat. Pilkada pada kenyataannya memberikan satu kesempatan dalam waktu lima tahun kepada kepala daerah untuk mengorganisir kinerja pemerintahan dapat kita saksikan dengan seksama. Apakah memang pilkada tersebut menghadirkan wajah yang ramah dalam mewujudkan gagasannya itu tentang kesejahteraan rakyat.

Konsekwensi gagasan tentang pembenahan keadaan suatu daerah diwakili dengan program kerja dan peanggaran pemerintah. Tentunya program itu mestinya diterjemahkan oleh orang yang memiliki kualitas personal yang baik, sehingga setelah selesai pilkada, gagasan peubahan kemudian disajikan pertama kali dengan pergantian ataupun juga mutasi. Selama satu tahun priode pertama menyusun harmonisasi kinerja pemerintahan.

Pengisian jabatan organisasi pemerintahan ataupun juga mutasi sebagai bagian harmonisasi kinerja pemerintahaan semestinya berada dibawah gagasan perubahan ideal untuk rakyat, tetapi kemudian kita disajikan pergisian jabatan, mutasi yang lebih disebut sebagai upaya siasat politik menjaga kekuasaan.  Kita telah terbiasa menyaksikan mutasi yang berulang  ulang dalam satu perode kepemimpinan, ini menunjukkan bahwa pemilihan orang yang bekerja di satu organisasi pemerintahan menjauh dari gagasan bekerja untuk rakyat. Akibatnya harmonisasi gagasan malah berubah menjadi harmonisasi kepentingan pragmatis kepala daerah.

Melihat fenomena  kepemimpinan kepala daerah yang berniat maju kembali, masa dua tahun sebelum maju kembali digunakan mengatur siapa siapa yang akan mengisi birokrasi pemerintahan. Selain itu incumbent yang akan maju itu memulai jalan untuk membagi – bagi proyek dengan tujuan menjadikannya sebagai dana pemenangan. Jika dilihat dari itu, maka paling tidak bekerja yang serius untuk masyarakat tanpa pengaruh politik di masa dua tahun antara satu tahun pertama dan dua tahun terakhir. Waktu dua tahun untuk masyarakatpun masih diwakili kata “mungkin” apakah benar – benar untuk masyarakat atau tidak.

Sebelum masa pilkada majunya seorang incumbent, tim pemenangan terbagi dalam fragmentasi keberpihakan pada calon yang akan berinisiatif maju. Maka calon kepala daerah yang incumbent menforsir kekuatannya untuk memberikan proyek kepada tim  yang masih setia, sementara disisi lain yang tak mendukung atau memilih jalan lain terbuang ditengah jalan. Alhasil program bagi bagi proyek pra dan pasca pilkada menjadi hal yang lumrah dilakukan, tentunya ini kemudian menambah proses dihilangkannya hak dasar masyarakat untuk memperoleh perhatian serius.

Fenomena kepemimpinan  seperti itu menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan bukan menjadi dasar utama bagi partai politik, disisi lain kerja politik bukan sebagai kerja kebudayaan untuk melembagaan kepentingan rakyat. Akibatnya pilkada yang digerakkan dengan sistem yang modern namun pola yang terjadi adalah pola tradisional, kepentingan kelompok, keluarga menjadi sajian utamanya.

Lalu apa yang harus dilakukan, hemat penulis salah satu alternatifnya yakni seorang kepala daerah yang akan bertarung kembali dalam pilkda harus dibuatkan aturan yang mampu memebrikan batasan dan menciptakan iklim politik yang bercita rasa kerakyatan. Pilihannya adalah membuat aturan pelarangan bagi kepala daerah yang akan maju kembali untuk melakukan kampanye pemenangan dalam segala hal, kecuali sekedar menyampaikan bahwa ia maju kembali tidak lebih dari itu.

Pembatasan ini menjadi penting, sebab aturan ini mengharuskan kepala daerah untuk benar benar focus bekerja untuk masyarakat. Pertama kepala daerah yang akan memperoleh gelar incumbent akan berpikir serius siapa yang akan menduduki instansi pemerintahan, sehingga memilih seseorang untuk mengisi jabatan karena kualitas. Pilihan ini menjadi bagian dari harmonisasi gagasan yang menghadirkan wajah rakyat cermin kebijakan nantinya selain itu drama pementasan tarian mutasi yang abnormal akan ditinggalkan. Pilihan pada akhirnya melahirkan pemerintahan yang berorientasi pada pemenangan harapan rakyat.

Kedua
, praktek bagi bagi proyek untuk pemenangan oleh kepala daerah akan berakhir, paling tidak mengalami penurunan, sebab anggaran memang digunakan  untuk merumuskan kesejahteraan masyarakat. Korupsi penggunaan anggaran yang berkurang itu karena dana tersebut digunakan untuk masyarakat bukan lagi untuk persiapan cost politik ataupun money politik untuk maju kembali.

Ketiga,
pembatasan ini membuat bukan hanya kepala daerah yang akan maju kembali untuk berfikir serius, mengukur diri lalu menegaskan komitmen untuk pembangunan daerah, tetapi setiap orang yang berkeinginan untuk menjadi kepala daerah sejak awal diajak berpikir melihat dirinya apakah ia mampu melakukan perubahan mendasar ketika berada dalam pemerintahan, investasi modal dari pihak lain untuk pemenangan yang kadang menjual sumber daya alam akan berkurang. Pada titik inilah  kesadaran akan betapa pentingnya modal social setiap calon kepala daerah yang akan maju disemaikan.

Implikasi dari tidak bolehnya incumbent melakukan kampanye dalam pilkada pada akhirnya bisa mengakibatkan terpentalnya mereka yang hanya berorientasi kepentingan oportunis, para suksesor yang berniat mencuri uang rakyat. Disisi yang lain mereka yang bekerja memang untuk orientasi kerakyatan tidak akan mengeluarkan mahar politik kepada partai politik sebab mereka memiliki modal social. Pada sisi yang lain partai kemudian dituntut melakukan kaderisasi kepemimpinan.

Dari ulasan tersebut, dilarangya seorang incumbent untuk berkampanye memiliki landasan filosofis yang jelas, ia adalah ikhtiari mengembalikan kepepemimpinan pada jalur kerakyatan, pelarangan ini hendak menyatakan suatu pesan bahwa kampanye sebenarnya adalah saat menjabat sebagai kepala daerah. Masa lima tahun adalah waktu yang panjang untuk bekerja memenangkan hati rakyat dengan kerja terukur. Dengan aturan itulah mungkin kita akan menyaksikan kampanye pemenangan selama lima tahun terjadi saat seorang menjabat sebagai kepala daerah. Meskipun memang akan ada pertanyaan apakah dengan pembatasan itu mereka akan mengahabiskan masa lima tahun untuk melakukan korupsi besar besaran.

Tulisan ini terbit di Harian Radar Luwu Raya 3 Agustus 2016

No comments

Powered by Blogger.