Kita yang Tak Berdosa
Sumber gambar : http://widhiaanugrah.com/ |
Subuh itu, lembah masih berkabut tipis, udara dingin turun dari pegunungan menyelimuti tubuh Nainawa. Nainawa masih berpikir. Dibungkusnya kepalanya dengan sarung. Ia bangun lebih awal, sebelum burung-burung mengepakkan sayapnya di atas langit lalu bertengger di atas dahan pepohonan mencari kehidupannya. Embun masih enggan berselancar meninggalkan dedaunan. Lalu Nainawa menurunkan sarung dari atas kepalanya. Lututnya ditahan dengan sarung yang ia gunakan.
Subuh yang hening. Nainawa berdiri ketika ingatannya telah pulih. Tangannya memutar gagang pintu lalu ia membukanya. Angin memasuki rumah tua itu. Rambutnya yang lurus tersibak. Matanya terpejam karena terpaan angin. Perlahan ia duduk di beranda beralas bambu, sebelum shalat subuh memasuki waktunya yang tepat.
Dedaunan terjatuh, sesekali mengendarai angin, bergerak tak teratur, lalu meluncur terjatuh bebas. ‘Segala puji bagi Allah yang sabar kepadaku hingga seakan-akan aku tidak memiliki dosa,’ bisik Nainawa. Dari mana aku memperoleh bahasa ini? Pikirnya.
Sebuah tatapan dari kejauhan memerhatikan Nainawa, tatapan yang kadang kala disertai senyum aneh. Ranting-ranting kering berderit, patah terinjak. Binatang - binatang yang masih beristirahat seketika berlarian, burung - burung terjaga lalu terbang seketika dari peristirahatannya.
Nainawa bergeser, dengan cekatan ia menghampiri lelaki tua yang melintas di depan rumahnya.
"Siapa anda ?" tanya Nainawa.
Matanya memerhatikan lelaki tua itu. Lelaki berperawakan kurus, wajahnya pucat seperti kelelahan dengan mata tenggelam ke dalam.
‘Sekian lama aku hidup di kampung ini, orang tua ini baru aku lihat, siapa orang ini?’ pikir Nainawa.
“Kebetulan saja, aku lewat. Aku beristirahat di sana," ucap orang tua itu sambil tangannya menunjuk pohon beringin tua yang rimbun.
“Ooo…iya saya lupa memperkenalkan diri, saya Jalal,” ucap lelaki tua itu sambil mengulurkan tangannya kepada Nainawa.
Ketika berjabat tangan, tangan Nainawa tercengkeram kuat.
‘Orang ini begitu kuat tapi tubuhnya begitu kurus, raut wajahnya pucat. Mungkin karena akibat ia beristirahat dalam dinginnya malam,’ gumam Nainawa.
"Mau ke mana Anda ?" tanya Nainwa.
“Di tempat-tempat yang aku lewati aku tak memiliki tujuan terhadap tempat-tempat itu. Aku hanya mencari siapa diriku di setiap tempat yang aku lewati.” Ucap jalal dengan pelan
“Tapi bukankah tempat-tempat itu untuk memenuhi tujuan anda?” Nainawa balik bertanya.
“Benar, tetapi tempat itu hanyalah tempat kita mencari siapa diri kita ini. Semalam aku terus berpikir sampai tak sempat memelihara tubuhku yang semakin kurus ini. Aku dengan keadaanku seperti ini penuh dengan dosa tetapi kadang kala aku melupakan itu. Aku seperti tak berdosa,”
Nainawa memasuki suatu hal yang baru. Aneh, bukankah ketika terbangun lalu duduk berpikir, ‘Segala puji bagi Allah yang sabar kepadaku hingga seakan-akan aku tidak memiliki dosa.’
“Ada apa nak sampai engkau terdiam begitu lama?" tanya Jalal mengagetkan Nainawa.
Mata Nainawa berkaca – kaca, jiwanya menemukan suatu rahasia. Nainawa membatin, merenung dengan keadaanya. Dua bulir air mata terjatuh dari matanya yang telah basah, ia malu dengan keadaannya. Nainawa seakan akan kuat dalam kelemahannya. Ia ingin berbicara namun mulutnya tertahan duka.
“Begitu sabarnya Tuhan dengan keadaanku ini, dosa telah menjadi sahabatku. Lalu aku tenggelam dalam keadaan yang membuat diriku seperti baik-baik saja. Kata-katamu…. ‘Aku seperti tak berdosa’ mewakili semua itu”. Sahut Nainawa masygul.
“Lihatlah, begitu terperanjatnya burung-burung lalu mereka beterbangan. Binatang-binatang berlari ketika ranting-ranting patah aku injak, dan kau mendatangiku bergegas secepat mungkin. Lihatlah mereka itu, mereka tidak akan mengalami hal-hal yang buruk, setelah mereka menghindar dari sesuatu yang mereka anggap mengancam. Begitu juga dirimu yang bergegas menghampiriku, karena engkau ingin memastikan bahwa tak ada hal yang menghawatirkan yang akan terjadi. Tapi bukankan karena itu engkau selamat dari kekhwatiranmu itu.” ucap Jalal tersenyum
Nainawa terdiam. Ditatapnya mata lelaki yang berada di depannya. Matanya yang mencekung ke dalam membawa Nainawa dalam dunia lain.
“Aku akan pergi, kau sudah mengerti dengan apa yang kau ingin ketahui.”
Laki-laki itu kemudian pergi, lalu menoleh ke Nainawa, seperti membisik sambil tersenyum ia berkata,
“Apakah ada masa yang lebih panjang dari penangguhan serta penguluran Azab kita ini?"
Memang lelaki itu telah pergi. Burung-burung beterbangan mengepak-ngepakkan sayap, bernyanyi dengan bahasanya masing-masing, mengiringi kepergian lelaki aneh itu. Fajar pagi telah tiba. ‘Lelaki itu memang telah pergi, tetapi apa yang ia sampaikan akan tetap tinggal selamanya dalam hidupku,’ bisik Nainawa.
No comments