Header Ads

Perubahan Teoritis Vs Perubahan Praksis, Pilkada Kota Palopo


 
Perubahan, kata itulah yang sering muncul dalam proses demokrasi terutama ketika pemilihan pemimpin suatu kelompok,komunitas,daerah dan negara sementara berlangsung. Proses kepemimpinan mengharuskan adanya perubahan kearah yang lebih baik, bahwa adanya persaingan antara satu orang dengan yang lain untuk menjadi pemimpin karena masing - masing memahami dirinya yang terbaik diantara yang lain, terbaik dalam memahami kondisi masyarakat dan paling mengerti bagaimana melakukan perubahan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian kata "perubahan" yang disampaikan seorang calon pemimpin  ibarat jampi - jampi untuk memelet seseoarang agar terpikat dengan harapan membangun rasa kepengikutan pada dirinya menimbulkan rasa suka, dengan bahasa ajakan yang mewakili "aku sayang padamu" yang pada akhirnnya melahirkan balasan dari rakyat dengan kata "aku suka padamu" namun apakah kata "aku sayang padamu" dan “aku suka padamu'' itu adalah keputusan dari medan kesadaran pelaksanaan tanggung jawab dan dari kesadaran pemberian wewenang yang bertanggung jawab.


Layaknya alat musik, kata perubahan adalah gendrang yang siap ditabuh dalam ritme musik yang teratur merdu yang hendak menenangkan pendengarnya, penenangan sementara yaitu hanya pada saat gendrang itu ditabuh ketika tidak lagi ditabuh ketenangan pendengarnyapun menghilang . Dalam demokrasi gendrang perubahan selalunya diupayakan menentramkan rakyat sebagai obyek/subjek pada pemilihan, dikatakan subjek karena rakyatlah yang memilih sementara dikatakan obyek karena siapa yang dipilih secara subtansi semuanya untuk mengabdi kepada rakyat.


Perubahan, kata yang beroposisi dengan status Quo dan juga kata yang anti kemapanan, namun benarkah demikian. Jika kata  itu dimasukkan dalam relasi sosial atau ragam peristiwa yang hidup dimasyarakat apakah ia berfungsi atau hidup dalam proses - proses sosial secara teratur menuju arah yang lebih baik. Proses perubahan itu perlu indikator - indikator yang  menjelaskan bahwa perubahan dalam pandangan secara teoritis itu juga bekerja dalam relasi/ hubungan dalam jaringan sosial. Selo Soemardjan menjelaskan tentang perubahan sosial , menurutnya  perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam pandangan tersebut nilai nilai, sikap dan pola prilaku merupakan bagian inti dari indikator yang menentukan kemana arah perubahan sosial akan terjadi.


Apakah dalam Pilkada kota Palopo, perubahan secara teoritis akan selalu berjalan beriringan dengan perubahan secara praksis ataukah keduanya malah tidak sejalan dalam realitas sosial. Untuk Mengungkap hal tersebut kita belum masuk dalam pekerjaan yang akan dilakukan nantinya sebagai walikota palopo, karena ketika sampai kesana maka kita telah menjadi hakim yang tak arif. Hal yang perlu dijawab adalah menilai proses - proses yang telah hidup dalam gejala sosial perhelatan demokrasi, mengukur kebenaran - kebenaran proses yang terjadi dalam kerangka “keharusan’’, karena “kenyataan” sebagai realita yang hidup sangat perlu diverifikasi lewat keharusan (subtansi) proses pilkada. Sehingga kita patut untuk selalu mencurigai apakah kata "aku sayang padamu"oleh calon pemimpin dan timnya & “aku suka padamu'' keputusan memilih oleh masyarakat”  itu adalah keputusan dari medan kesadaran tanggung jawab dan dari kesadaran pemberian wewenang yang bertanggung jawab pula, kata tanggung jawab lahir dari bangunan sistem nilai moral dengan demikian maka perlu mengajukan apa yang telah terjadi dari fakta sosial yang mempengaruhi keadaan sosial, termasuk di dalamnya apakah nilai-nilai kebaikan , sikap kejujuran, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat itu dijadikan sebagai dasar dalam perubahan.


Keputusan "Aku Sayang Padamu"  apakah  Medan Kesadaran tanggung Jawab.


Seseorang calon pemimpin secara teoritis adalah mereka yang mengatributi dirinya dengan kemampuan yang mumpuni selalu berorientasi pada masa depan dengan misi yang jelas, maka seoarang yang berani mengajukan dirinya dalam proses pemilihanan demokrasi selalu mengidentikkan dirinya dengan simbol perubahan, mengatakan dirinya adalah yang terbaik dalam memahami serta merubah pola - pola kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, faktanya keharusan itu beroposisi dengan realita yang ada, disatu sisi mereka mengatakan kita akan melawan korupsi, menentang pembedaan kelompok, agama adalah jalan. Fakta yang muncul dimimbar, podium, warung kopi dan dimanapun berada selau dijadikan tempat membangun wacana keberpihakan pada masyarakat, selalu berujar tentang  kebaikan.


Seperti diungkapkan sebelumnya kata perubahan benar - benar ditabuh dengan elok, menjebak, serta menenangkan. Pemenangan bukan karena kelayakan pribadi untuk menang tetapi pemenangan tergantung siapa yang cerdas mengemas isu meskipun hanya ajakan semu, selain itu uang menjadi hal yang paling penting dalam pemenangan politik. Secara teoritis perubahan diidentikkan perbaikan nilai dalam proses sosial untuk membentuk tatanan yang lebih baik. Namun secara praksis jalan itu hanyalah retorika pemikat. Patologi sosial dibentuk , kesadaran politik moralis  tidak diacuhkan dengan terang  terangan, agama dijadikan label semata, serta heterogennya masyarakat di sekat kedalam pemilahan kelompok homogen, jalan yang menunjukkan bahwa perubahan secara praksis beroposisi dengan perubahan dari sudut teoritis.


Proses politik Pilkada merekonstruksi manusia secara individu dalam budaya materialis , meminggirkan moralitas serta hendak menyekat homogenitas kelompok kedalam keberpihakan irasional, padahal proses politik praksis idealnya merekonstruksi manusia dari kurang beradab menjadi manusia yang berbudaya, membangun rasionalitas pemilih demi meningkatkan kualitas kualitas keadaan sosial serta meniggalkan basis kekuatan berupa penyekatan kelompok, menghidukan nilai - nilai moralitas bukan hanya dalam perkataan tetapi lebih penting adalah dalam perbuatan. Realitas proses politik pilkada, membuat sebagian masyarakat acuh tak acuh dengan kebaikan, acuh tak acuh dengan moralitas sampai kemudian sebagian masyarakat mengatakan tampa rasa malu “jika kami memilih apakah ada uang yang akan kami terima”.


Kebaikan tidak lagi sakral, kejujuran tidak lagi dianggap sebagai ajaran mulia, dosa tidak lagi menakutkan. Sebuah rekonstruksi sosial  dari proses politik yang sangat menakutkan. Mahatma Ghandi berkata dengan bijak, menurutnya ada tujuh dosa sosial salah satunya adalah “Politik Tampa Prinsipmenurutnya tidak sedikit politisi menghabiskan banyak uang untuk membangun citra, meskipun citra itu dangkal, tiada isi, hanya untuk memperoleh suara dan jabatan. Bila ini terjadi, maka sistem politik akan bekerja terlepas dari hukum-hukum alam”. Hal yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi dengan politik  sepeti itu adalah hal yang sudah mahfum dalam gejala sosial yang yang dipertontonkan pelaku politik saat ini.


Adakah yang mengatakan bahwa pemenangan dalam pilkada denga kekuatan uang sebagai kekuatan utama pemenangan itu tidak benar. Pelaku politik praktis selalu menggunakan basis argumentasi positivisme hukum untuk menolak hal tersebut, kebenaran yang ada berupa menggunakan uang sebagai bagian pemenangan akan diakui / dibenarkan oleh meraka jika terbukti lewat pelaksana hukum yang berwenang, jadi meskipun kejadian itu terjadi dilapangan maka hal itu dikatakan tidak terjadi.  Padahal dilapangan masyarakat menerima uang sabagai upaya money politik untuk pemenangan. Akutnya lagi dalam faktanya, proses politik pilkada melahirkan mutasi politik, mutasi dijadikan kekuatan untuk terpilih menjadi pemimpin, hal ini  menghilangkan makna jabatan karir sehingga jabatan karir beruabah menjadi jabatan politik.


Perubahan secara teoritis ternyata tidak berjalan dalam medan jaringan sosial, Moralitas, etic, kejujuran menjadi musuh pelaku politik ia dimusuhi dalam realita politik hari ini, bahkan secara fakta kita bisa membangun kesimpulan bahwa kebaikan, kejujuran, serta moral harus dijauhi oleh mereka yang hendak menjadi pemimpin, karena hal - hal itu akan membuat jalan menuju tampuk kekuasaan akan terhambat. Rekonstruksi proses sosial politik tersebut pada akhirnya menyempurnakan /melestarikan patologi sosial. Medan kesadaran tanggung jawab telah diabaikan padahal secara subtansi, tujaun kepemimpinan adalah menyatunya tanggung jawab moral dalam prilaku seseorang pemimpin yang didalamnya kebaikan serta kejujuran itu hidup.


Medan kesadaran tanggung jawab saat ini biasanya diinterpretasikan dalam makna siap menerima resiko dari apa yang dilakukan, mempertangggung jawabkan apa yang telah dilaksanakan, jika hal ini disepakati maka manusia telah memisahkan dirinya sebagai makhluk yang berbuat karena ilmu, seharusnya tanggung jawab itu menyatu dalam perbuatan - perbuatan yang dilakukan, perbuatan yang berilmu yang membicarakan moralitas, kebaikan, kejujuran sebagai basis kekuatan dalam perjuangan yang melahirkan tanggung jawab dalam setiap ucapan dan perbuatan. Tanggung jawab yang  dianggap terpisah dari prilaku sosial akan menjadikan manusia - manusia berkontribusi besar dalam membangun dosa sosial, dan orang orang seperti itu bukan manusia yang seutuhnya.


Tidak mengherankan jika pelaku politik mengatakan kebenaran pelanggaran yang terjadi hanya diakui jika telah dibuktikan oleh struktur hukum yang berwenang, sehingga tidak lagi mau melawan arus realita  hidup yang salah, termasuk bersepakat dengan kenyataan bahwa uang adalah jalan utama menjadi pemimpin hari ini, lalu menjadikan uang juga sebagai alat utama. Padahal secara argumentsi jika hal itu dilakukan sejatinya akan melahirkan penyesalan dan secara kodrati Tuhan telah memasukkan kecemasan pada setiap manusia jika hendak berbuat sesuatu hal. Dari kecemasan itulah lahirlah undang undang fitrah kemanusiaan bagaimana berfikir, berjalan menuju tujuan perubahan sosial yang tiada saling meniggalkan ia mewujud dalam satu entitas yaitu kebaikan untuk diri dan untuk manusia yang lain.


Kesadaran '’Aku Suka Padamu'' Medan Kesadaran  pemberian wewenang.


Rakyat sebagai subjek / obyek karena secara teoritis masyarakat memilih karena untuk dirinya. Dalam teori demokrasi dikatakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka siapa yang terpilih pada proses pilkada adalah cerminan bagaimana cara pandang masyarakat terhadap kepemimpinan. Pemimpin jika dihubungkan dengan  pemilihan oleh rakyat adalah penyerahan wewenang .


pemberian wewenang yang dimaksud adalah bagaimana pemimpin melindungi,menjaga, meningkatkan akses masyarakat dalam memenuhi hak - hak dasarnya sebagai manusia . Lalu apakah kata “aku suka padamu”   lahir dari medan kesadaran pemberian wewenang, hal ini perlu kita pahami karena seperti apa pemimpin yang dipilih begitulah cerminan rakyatnya. Berangkat dari basis argumentasi itu, terpilihnya pemimpin yang baik, bijaksana, korup berkarakter buruk adalah juga karena peran masyarakat. Jika demikian halnya maka peluang perubahan sosial itu adalah jika masyarakat juga memilki kesadaran politik dalam memberikan wewenang kepada seorang pemimpin. Money politik adalah fakta yang terjadi, hal tersebut akan merekonstruksi masyarakat menjadi materialis. Masyarakat harus tampil secara sadar, memahami bahwa jika masyarakat hendak melawan kekuatan yang korup maka siapa saja yang menebar uang dalam pilkada maka sesungguhnya p-elakunya itu sementara menebar benih benih korupsi dan akan diapanen pada saat terpilih dan mereka itu adalah musuh. Secara teoritis tidak ada upaya mencapai kebaikan / perubahan sosial yang benar jika didalamnya dilakukan dengan kejahatan, jika prosesnya tidak baik maka tujuannya pasti tidak baik.


Memberikan wewenang dalam proses demokrasi kepemimpinan adalah dengan memilih. Memberi dalam medan kesadaran adalah kemampuan mengenali kepada siapa amanah itu hendak dititipkan. Jika kita salah menitipkan maka bersiaplah kehilangan apa yang diberikan itu. Jika kita menitipkan amanah pada yang tak amanah secara sadar maka bersiaplah untuk melihat tidak hidupnya amanah pada diri orang tersebut.


Idealnya perubahan sosial berjalan secara beriringan, sosok pemimpin hidup dalam Medan Kesadaran tanggung Jawab serta masyarakat yang hidup dalam kesadaran pemberian wewenang, Manusia hendaknya selalu mengoreksi kearah mana ia akan memperjalankan dirinya serta kearah mana proses perubahan sosial akan berjalan, hal itu bisa terjadi jika manusia selalu mengoreksi keadaan dengan memperjalankan dirinya dalam memahami “keharusan” dan membenturkannya dengan “kenyataan”, jika itu terjadi maka proses perubahan sosial akan selalu terkoreksi dan kita sebagai manusia bisa menentukan sikap yang benar dalam mengambil keputusan termasuk dalam proses pemilihan pemimpin dalam proses pemilu kada kota palopo, tapi pertanyaan akhirnya adalah apakah ada yang memang pantas untuk dipilih, sebuah kalimat yang mesti di akhiri dengan tanda tanya.

Ditulis palopo, 15 Maret 2013 pukul 18:22

No comments

Powered by Blogger.