Jejak Perjalanan ke Rampi
Kita mungkin bertemu dalam duka yang sama
tetapi kita dijemput oleh dosa yang berbeda”( Hajar Alfarisy)
Perjalanan menuju suatu daerah yang jauh dari
kota, jalannya sangat mengkhwatirkan, perjalanan dari masamba menuju kecamatan
Rampi daerah yang terisolir di Kabupaten Luwu Utara, sulawsi selatan. Ada
gelisah yang merayap masuk dalam pikiran, sebelumnya kami telah melewati
perjalanan dari bada’ sulawesi tengah menuju rampi. Namun kali ini kami akan
melakukan perjalanan melewati jalur masamba rampi jalur yang jika orang
ditanyakan padanya maka ia akan mengatakan itulah jalanan yang penuh dengan
segala macam tantangan entahlah, kali ini kami akan melewati suatu kenyataan
yang dibicarakan begitu menakutkan.
Jam 03.00 Motor melaju dengan raungan yang
membisingkan, ban bergigi berputar melewati aspal di kecamatan masamba diringi
dengan bunyi mesin yang memecah keramaiaan orang kota. Ia akan mencengkram
lorong lorong berpasir, tebing tebing curam, serta melintasi segala hal yang
tak bisa dibayangkan oleh orang kota. Begitulah bayang bayang selalu
menghampiri ada hal yang bisa dibicarakan secara biasa dan adapula yang hanya
bisa dibicarakan dengan bahasa yang diam. Belum jauh beberapa meter, suara
motor aan telah berubah. Bunyinya lebih mirip suara kapal kecil nelayan yang
hendak melaut, seperti ada beban berat yang taak mampu ia angkut.
An kau ini belum mandi saat berangkat dari rumah
“ kata anca dengan tertawa ini sudah kejadian yang kedua kalinya kalau kita
menuju rampi. Untuk pembicaraan seperti ini saya tak bisa campur tangan soalnya
ini pembicaraan orang tua hehe sementara saya masih belum tahu hal seperti itu.
Apa ada hubungannya hehe entahlah......
beberapa lama tukang ojek pak masar memperbaiki motornya
tetapi setiap kali dicoba hanya beberapa meter motor kembali tak normal.
Akhirnya kami memutuskan beranjak secepatnya, motornya masih bisa menjangkau
daerah salu seba disana rencananya kami bermalam. Disana ada pesta perkawinan,
sebagaimana kebiasaan umum pada malam sebelum pesta dilakukan dero.
Tiga motor melaju dengan kecepatannya masing
masing namun jam 04.00 motor yang saya tumpangi kehilangan pengapian. Terpaksa
kami harus berhenti. Kunci kunci dalam karung kecil telah dikeluarkan, sebagai
tukang ojek wajib juga mengetahui bagaimana cara memperbaiki motor. Kali ini
saya past mendapat bagian untuk ditertawai hehe namun soal saya belum mandi
sebagaimana kasus aan tidak bisa terjadi dengan saya......
sekitar dua jam motor diperbaiki. Sudah mulai agak
malam kami masih diatas kendaraan, sementara aan berfungsi memegang senter
sebab motor yang dia tumpangi lampunya mati. Segala macam bebatuan mengahadang
perjalan, motor melaju dengan pelan pelan. Malam itu hujanpun mulai menampakkan
wujudnya . hujan turun menerpa wajah , bagi jalanan dikota hujan se[erti itu
takkan mempengaruhi apa apa, sementara untuk jalanan yang kami lewati ia
menjadi hal yang dikhwatirkan.
Begitulah kehidupan ini, hal yang bermanfaat bagi
yang lain belumlah menjadi anugerah bagi yang lain pula, semuanya adalah
bagaimana kebutuhan bisa didapatkan setiap orang. Tapi bukankah itu
adalah bagi orang orang seperti saya, tukang ojek dan masyarakat , lalu apakah
pemerintah harus memahaminya seperti itu entahlah....................
jam 8 malam kami tiba di Salu Seba
dan menginap disalah satu rumah penduduk.
Malam terus bergerak diarak oleh hujan yang
semakin menggila, besok jalanan ke rampi akan semakin parah ucap bento’ tukang
ojek dari timor leste yang tak punya visa hehe, entah kenapa teringat dengan
kasus Abraham samad yang jadi tersangka karena masalah kartu keluarga, mungkin
juga dia akan dipenjara jika dilaporkan ke polisi... Kita hanya bisa sampai di
Kombo tempat peristirahatan karena air hujan telah merusak lorong lorong berpasir.
Ada kebajikan yang masing masing kita pikirkan
tetapi dalam demokrasi kita saat ini kebajikan hanya bisa diterima jika
penguasa mengaminkannya” disitulah harapan yang baik atau tidak bisa diwujudkan
dengan teratur.
Pagi jam 9.00 iringan motor bertambah, ada 4
motor yang membawa barang dagangan kerampi, biaya biaya 6000/kg. Kami dijemput
dengan bentuk jalanan yang begitu mengerikan, menyuramkan pandangan. Jalanan
motor telah berbebntuk lorong mengecil dari atas, mungkin itulah yang disebut
sebagai lorong kehidupan yang suram, butuh kehati hatian untuk melewatinya.
Inilah jalanan yang mencengangkan , jalanan yang begitu membutuhkan keberanian
dilorong lorong terjal itulah masyarakat dari rampi lewat untuk memenuhi
kebutuhannya. Suatu hal yang merisaukan setiap manusia yang masih memilki jiwa
kemanusiaan yang bertahta pada dirinya.
Lebih banyak jalan kaki sebab motor tak
bisa melewati jalanan yang telah tergerus air, ada cekungan yang dalam,
berjarak teratur tempat air menggerogoti pasir dan tanah disitu ban motor
berputar dalam kecepatannya yaang tak biasa, disitu gigi ban mencengkram tanah,
pasir dan bebatuan harus berputar sekuat mungkin, kadang motor harus menyerah
lalu motor harus mendapatkan bantuan dari tukang ojek atau penumpang yang lain. Lorong panjang dengan ketinggian melebihi
manusia, disitulah tukang ojek menaruh harapan, dinding lorong yang berpasir,
dinding itulah itulah yang menopang harapan, ia dijadikan bahan untuk
menutupi jalanan yang telah rusak.
Tukang ojek dalam benakku bukan semata mata
sebagai ojek yang mencari kebutuhan hidupnya, tetapi mereka yang memberanikan
diri membantu yang masyarakat yang terpencil, Suatu hal yang melampaui
kebiasaan pada umumnya, disitulah mereka mengabdi tanpa mengenal siapa siapa
terkecuali bahwa hidup harus berputar sekuat mungkin. Disitulah kehidupan
diasuh oleh kenekatan untuk mampu bertahan hidup, sementara negara membangun
pelabuhan pelabuhan besar, jalan jalan bebas hambatan. Disinilah jalanan bebas
terhambat. Terhambat oleh bentangan alam juga terhambat oleh kebijakan yang tak
pernah serius.
Jam 05.00 sore kami sampai di Kombo. Disinilah
kami beristirahat. Mengistirahatkan segala kepenatan. Dingin hadir bersama
angin pegunungan yang mengahampiri, api mulai menjadi kawan mengusir dingin
yang mejalar masuk kedalam tubuh. Kopi menjadi jamuan malam setelah makan
malam, Kami merebahkan baadan dengan menggunakan sleeping bad, ada suara yang
sesak terdengar, entah siapa... lalu kami memejamkan mata pergi meninggalkan
malam, meninggalkan suara alam, angin, burng dan lain lalu mata kami terbuka
kembali.
08.00 Kombo.
Masih pagi, mata mata masih tertutup, sementara
bunyi mesin motor telah meraung keras. Motor menjemput pagi dengan segala
kemampuannya sebab perjalanan akan dilanjutkan. Anca bergeser mengambil air
ketika masih pagi, sebenarnya ia membangunkan ku namun baadan ku masih setia
tak berdaya diatas tanah.
Pagi itu api telah mulai melahap tumpukan
kayu kering, ia menari dalam ketinggiaannya karena disiram spritus sementara
asap putih kehitaman pergi meninggalkan tungku api ia bertemu kabut pagi yang
tebal. Tak ada tungku batu tempat panci diletakkan. Dua buah kayu kecil berdiri
tertancap kedalam tanah semetara pada ujung atasnya memilki pangka lalu satu
kayu melintang menghubungkan keduanya. Disitulah rotan dililih pada ujungnya
ada kayu tempat panci menggantung
menerima panas. Panas telah merambat,
air telah mendidih. Gelas plastik disiapkan, lalu kopi dimasukkan kedalamnya
diikuti oleh air panas . Rasa ngantuk mulai pergi
meninggalkan setip raga yang lelah.
Adakah yang lebih indah selain meneguk kopi
sedikit demi sedikit diatas pegungan yang dingin, didepan perapian yang membawa
kehangatan, setiap tegukan menentukan harapan betapa kehidupan ini hanyalah
ratapan semata ketika kita tak mampu mebuat hudangan jamuan diri yang menenangkan..
sebagaimana kopi yang mengusir kepenatan karena jalanan yang terjal, mengerikan
apakah kopi bisa melakukannya. Menghilangkan jalananan yang terjal , berpasir
penuh dengan lorong harapan.? Tentu tidak , hal seperti itu hanyya bisa diusir
oleh kebijakan yang serius dari pemerintah.
hehe begitulah kopi pagi itu adalah jamuan yang
terindah menghangatkan segala kemungkinan bahwa perjalanan ini terus berlanjut.
09.00 Berangkat dari Kombo.
Belum cukup seratus meter, kemabali kami harus
turun dari motor. Ada penurunan yang dibentuk oleh batu cadas yang tak tertata,
ini bukan jalanan kataku, tak ada bayangan bahwa itu adalah bekas jalan dimana
motor terbiasa telah melewatinya. Orang menyebut tempat itu sebagai lappe lila
( mungkin seperti ketika orang yang begitu lelah ketika berlari dan tak bisa
lagi berlari dan lidahnya menjulur keluar). Dua tebing tinggi disampaingnya
menambah pemandangan yang menakjubkan, betapa disinilah jalanan seperti ini
berguna bagi masyarakat yang sudah hidup dalam setengah abad lebih kemerdekaan.
Disinilah melintas manusia yang hendak hidup, disinilah masyarakat tanpa negara,
Tapi begitulah keadaan masyarakat hidup harus terus berjalan.
Batu cadas bertebaran dalam bentuknya masing
masing yang berbeda, ada yang menancap kuat kedalam tanah sementara ada yang
bertebaran dimana dimana, suatu pemandangan yang entah mau dijelaskan seperti apa,
disinilah motor melaju dengan segala resikonya. Tak ada celah dimana motor bisa
bergerak dengan bebas memilih jalan yang pantas. Pada batu cadas itu kami menjejakkan kaki
dengan hati hati, mengatur langkah agar tak terjatuh. sementara tukang ojek
kamu masih jauh dibelakang mereka memperbaiki jalan yang dilewati.
Hampir lebih banyak jalan kaki, dibanding naik
motor, Tebing tebing jalanan yang penuh dengan lumut memberi pemandangan yang
indah. sore pergi menjauh, cahaya
meninggalkan celah celah dedaunan yang rimbun, lalu malam datang bersama dengan
hawa dingin sebagai akibatnya. Roda ban
motor masih berputar menelusuri lorong jalanan yang terjal, sesekali berhenti
karena motor tak bisa melwati pohon yang terjatuh, serta motor yang tak bisa
melewati jalanan yang dalam dan sempit. Raungan motor memecah keheningan malam,
sementara hujan gerimis masih setia mengantarkan kedatangan kami di desa Leboni
kecamatan Rampi.
Disini ada jejak duka, ada terowongan harapan
yang jauh tak biasa, ada jurang pada sisi sisi jalanan yang mengerikan. Ada
jurang kebijakan yang terpelihara baik. Kita mungkin bertemu dalam duka yang
sama tetapi kita dijemput oleh dosa yang berbeda. Bahwa kita masing masing
memilki nurani yang ada pada setiap manusia yang membicarakan jiwa jiwa
kemanusiaan. Disitulah kita mungkin sama tetang rasa yang berduka dalam
lintasan jalan yang mengerikan.
Kita dijemput oleh dosa yang berbeda, Dosaku
adalah aku membicarakan hal hal yang tak bisa kuselesaikan dengan kengerian
kaadaan ini, aku hanya mampu menulisnya mengatur runutan kata yang tak biasa. Semoga
jiwa kita bertemu dalam satu makna, sementara dosa kalian karena kalian memilki
wewenang besar atas itu. Semoga pemerintah daerah, provinsi serta kemenntrian desa tertinggal mampu menunaikan
tugasnya, kita begitu sedih sebab kita telah lama merdeka, tetapi pada suatu
tempat di Indonesia ini ada duka yang dibiarkan mengalir bebas.
Penulis ; Hajaruddin Anshar
Keren kanda... intip juga dong blog saya di http://www.kitaberbagi.info/
ReplyDeleteterimaksih telah mampir di blog saya he...
ReplyDeleteKaya'nya seru ini perjalanan, tapi sayang tidak pernah ajak-ajak heheh
ReplyDeletekapan kapan kita kesana bang Arisandy heeh
ReplyDeleteIkut doooong supaya bisa masuk beritanya lagaligopos.com
Delete